Rajapatni.com: SURABAYA – Gayatri Rajapatni adalah sebuah buku bacaan (genre novel) berkualitas. Buku ini tidak saja bercerita tentang sosok istri raja pertama Majapahit, Dyah Wijaya, tetapi buku ini sekaligus memperlihatkan bagaimana perasaan dan romantisme penulis, Earl Drake, terhadap sosok Rajapatni yang cantik dan berhati syahdu dan sejuk.
Rajapatni bagi Earl Drake sekaligus sebagai penuntun Meneropong kegelapan Kemaharajaan Majapahit. Rajapatni sudah tiada. Ia lahir pada 1275 dan wafat pada 1350. Namun cahayanya masih memancar di zaman modern. Tidak ke kebanyakan orang. Hanya pada orang orang tertentu saja. Salah satunya adalah pada seorang diplomat asing, Earl Drake. Lainnya bisa jadi Anda atau saya.
Sebagai diplomat, Earl Drake sempat ditugaskan di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat sebagai Duta Besar untuk Indonesia (1982-1983). Hanya setahun. Selanjutnya ia kembali ke Ottawa dan menjabat pertama sebagai Direktur Jenderal Biro Asia Selatan dan Tenggara, dan kemudian Asisten Wakil Menteri Cabang Asia Pasifik.
Pada tahun 2012, dengan menggunakan hasil penelitian yang ia lakukan dari sumber-sumber asli (Negarakertagama) semasa menjabat sebagai Duta Besar untuk Indonesia (1982-1983), ia mulai menulis buku ketiga dan terakhirnya, “Gayatri Rajapatni: Wanita di Balik Kemuliaan Majapahit” (Penerbit Ombak dan Pinang), sebuah novel sejarah di Abad 14.
Novel Gayatri Rajapatni ini tidak hanya potret Majapahit, tetapi potret hati dan cinta Earl Drake terhadap Rajapatni. Rajapatni memang sudah wafat pada 1350, tapi di mata dan hati Drake, Rajapatni bagai cahaya yang menjadi suluh melihat Kemaharajaan Majapahit.
Dalam buku Gayatri Rajapatni, suluh ternyata tidak hanya datang dari Rajapatni, tetapi juga sumber Negarakertagama. Kitab ini malah semakin membuat Rajapatni semakin bercahaya di mata Drake karena ada kisah kisah yang menceritakan tentang sosok Rajapatni.
Misalnya pada Negarakertagama Bab 45-46 dikisahkan:
“Semenjak Raja Wijaya mulai bertahta, seantero Jawa kembali hidup dan datang memberikan penghormatan, gembira menyaksikan Empat pendamping Raja, para putri Raja Kertanegara, semua sebanding dengan perempuan kahyangan, dan Dyah Gayatri yang ramah, yang termuda adalah sang Rajapatni istana”.
Sementara Earl Drake sendiri menyatakan kekagumannya terhadap Rajapatni:
“saat saya menatap patung dirinya (Rajapatni), semakin nyata pula ia ada dan hidup dalam imajinasi saya. Perlahan lahan saya sadari bahwa akhirnya saya pun mengenalnya dan sangat menyukainya. Ketika melihat patung dirinya itu, saya pun membayangkan dirinya (Rajapatni ) tengah membaca kisah Kresna sambil berpose cantik dan anggun di hadapan sang pematung Agung, yang sedang memindahkan Jiwa dan raga Rajapatni ke dalam sebuah citraan (patung). Bahkan sampai sekarang patung itu masih menghanyutkan siapapun yang menatapnya. Cahaya di bibirnya menunjukkan senyum yang melindungi dan cemerlang dalam citra ilahi”.
Atas nilai nilai yang dimiliki Rajapatni, Earl Drake melalui buku terakhirnya “Gayatri Rajapatni” berharap agar buku ini dapat membantu membangkitkan apresiasi terhadap sosok perempuan Nusantara yang rendah hati, yang meningkatkan pemahaman keagamaan lintas Iman, mendorong perkembangan kesenian dan budaya serta merintis sebuah peranan yang lebih bermanfaat bagi perempuan.
Earl Drake kagum terhadap kecantikan paras dan kesyahduan hati Rajapatni dan buku “Gayatri Rajapatni” menjadi buku terakhirnya (2012) sebelum tutup usia pada 2023. (PAR/nng).