Sejarah Surabaya: Sisa Tembok Surabaya dan Peradaban Aksara (Jawa dan Belanda) di Kota Lama Surabaya

Kaus sebagai cinderamata dengan tulisan aksara jawa. : Foto: nanang

Rajapatni.com: SURABAYA – Melestarikan budaya lokal tidaklah gampang. Apalagi zaman sudah berubah dan tidak kekal. Tidak lagi tradisional, yang umumnya identik dengan lokal.  

Seorang warga di kawasan Kota Lama, tepatnya zona Eropa di Krembangan Timur, bangkit dengan tradisi lokal yang selama ini sudah  terkubur zaman. Tradisi lokal ini adalah alat komunikasi tulis, yang berupa Aksara Jawa. Warga setempat itu adalah Gyani. Seorang ibu rumah Tangga, yang tergugah hatinya untuk nguri uri Aksara Jawa.

Gyani tergugah saat mengikuti kelas Sinau Aksara Jawa, yang diadakan di lingkungan RWnya pada bulan Juli 2024 lalu. Selain belajar Aksara Jawa, dalam kelas itu ia juga belajar sejarah peradaban budaya tentang kampungnya.

Di kawasan Zona Eropa, Kota Lama Surabaya, pernah menjadi titik pertahanan seorang bangsawan Madura, Trunojoyo, ketika mempersiapkan diri menghadapi tentara VOC yang bersekongkol dengan Mataram. Di kawasan ini masyarakat Madura bercampur dengan perkampungan Jawa.

Keberadaan kedua etnis lokal itu sebagaimana terpetakan dalam sebuah gambar Kota Surabaya pada pertengahan Abad 18. Ada Kampung Jawa dan Kampung keluarga Kepangeranan Sumenep (Madura).

Kedua etnis lokal ini dalam komunikasi tulisnya menggunakan Aksara Jawa untuk bahasa Jawa dan bahasa Madura. Mengerti mengenai sejarah peradaban budaya itulah, Desy mencoba melestarikan tradisi tulis nenek moyang melalui produk ekonomi Kreatif, yang berupa souvenir untuk menunjang dan melengkapi kawasan Wisata Kota Lama Surabaya sebagai souvenir.

Cindera mata ini berupa kaus, gantungan kunci, pin dan sticker yang dihiasi dan menggunakan Aksara Jawa. Tidak ketinggalan cinderamata itu diberi gambar bangunan Cagar Budaya, yang tersebar di kawasan Kota Lama.

Selain itu juga tersedia karya seni lukis dalam kanvas. Lukisan lukisan ini juga dimanfaatkan untuk menghiasi cetakan kaus untuk memberi pilihan kepada wisatawan sebagai buah tangan yang bisa dibawa pulang.

Bagi Desy, menyertakan tulisan Aksara Jawa adalah cara untuk implementasi pemasyarakatan Aksara Jawa. Semakin ia menggunakan Aksara Jawa pada barang barang souvenir, ia bagai mengulas kembali pelajaran Aksara Jawa yang pernah ia peroleh dari kelas Aksara Jawa.

Desy memiliki cara kreatif dan menyenangkan serta ekonomis dengan karya karya ekrafnya. Untuk mendapatkan gambar gambar Kota Lama, ia dibantu oleh suaminya.

Gyani (kanan) dikunjungi awak redaksi Rajapatni.com. Foto: nanang

“Ya bapaknya yang memotret gedung gedung untuk gambar kaus dan souvenir lainnya”, terang Desy.

Tidak cuma barang souvenir, ia juga membuat cemilan dan tahu bakso serta minuman tradisional sinom dengan memanfaatkan pohon asam tua yang ada di sekitar rumahnya. Minuman sinom produksi rumahan Desy ini tidak hanya mengandung sinom saja, tapi ada campuran rempah rempah lainnya seperti kayu Manis. Rasanya sangat terasa. Segar, asam dan manis dengan aroma dan rasa kayu Manis.

Gyani’s House adalah nama stand, yang bertempat di rumahnya di jalan Krembangan Timur.  Rumah Desy, berdasarkan peta lama Surabaya (1759-an), adalah bagian dari situs dimana sebuah rumah sakit dari era VOC bernah berdiri. Bekas bekas dari bangunan dari era VOC dapat dilihat dari struktur lantai rumahnya, yang terbuat dari batu granit hitam dan terakota. 

Tidak cuma struktur lantai saja, bersebelahan dengan rumah Desy adalah potongan (sisa) tembok Kota Surabaya. Surabaya pada masa VOC adalah sebuah Kota ala Eropa yang pernah berkalang tembok. Karenanya Surabaya pernah berbentuk sebuah Kota Bertembok (walled town).

Sisa tembok kota Surabaya di jalan Krembangan Timur. Foto: hus

Panjang sisa tembok sekitar 7 meter dengan tinggi sekitar 3 meter. Pada bagian pondasi memiliki ukuran lebar satu meter dengan ketebalan  tembok selebar 50 centimeters. Pada tembok masih terdapat sebuah pintu sederhana yang terbuat dari kayu Jati. Kerasnya setengah mati.

Jika di Jerman, serpihan tembok Berlin bisa menjadi aset wisata, kenapa sisa tembok Surabaya tidak. Lokasi tembok dan rumah Desy ini terletak di bagian buritan (belakang) Kota. Sementara bagian wajah (depan) Kota adalah jalan Jembatan Merah yang dulu bernama Willemkade. 

Secara fisik tampilan wajah dan buritan bekas Kota Bertembok (walled town) ini masih bisa diamati. Cukup menarik. Bagian wajah tampak keindahan gedung gedung yang berjajar bagai sebuah Pagar Raya. Mirip dengan ruang di tepian sungai sungai di Kota Kota Belanda.

Sementara tampilan buritan masih menyisakan pemandangan sebuah desa yang asri. Bangunan bangunan yang masih ada bertolak belakang dari Arsitektur di bagian wajah. Itulah peradaban Kota Surabaya di era kolonial di Abad 18.

Pingin Tau bagaimana wajah buritan Surabaya? Jangan lewatkan menengok tempat ini dan nikmati hasil kerajinan di Gyani’s House di jalan Krembangan Timur. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *