Demokrasi dalam Pewayangan: Mengenal Demokrasi Ala Tradisi Jawa (*)

Rajapatni.com: SURABAYA – Bagi masyarakat Jawa pada umumnya, baik yang tinggal di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), Jawa Tengah dan Jawa Timur tentu tidak asing dengan kesenian pewayangan (wayang kulit) yang telah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 2003. Seni pewayangan karya para leluhur orang Jawa tersebut secara umum mengisahkan dua lakon (cerita) besar, yakni cerita Mahabharata dan Ramayana. 

Disadari atau tidak, sebagaimana arti wayang yaitu bayangan atau bayang-bayang (manusia), maka cerita atau kisah dalam pewayangan tersebut dapat dijadikan sebagai kaca benggala (cermin) atau pelajaran mengenai hidup dan kehidupan bagi orang Jawa. 

Seperti halnya drama, di pewayangan pun terdapat tokoh protagonis (tokoh berwatak baik) dan antagonis (tokoh berwatak jahat). Itulah sebabnya dalam cerita pewayangan banyak dijumpai semboyan mengenai hidup dan kehidupan, misalnya sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (keberanian dan kejahatan niscaya akan hancur oleh kebenaran), memayu hayuning bawana (melestarikan dan memakmurkan bumi seisinya), mikul dhuwur mendhem jero (menjunjung tinggi kebaikan dan menyimpan kesalahan dari orang tua yang sudah meninggal dunia), dan sebagainya. 

Meski cerita pewayangan tersebut identik dengan nafas Agama Hindu-Budha, tetapi Sunan Kalijaga salah seorang dari Wali Sanga telah memberi isyarat mengenai demokrasi sekitar abad XIV dengan menghadirkan tokoh punakawan atau pamomong para satriya utama yaitu Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Sedangkan, satriya yang dimaksud, misalnya Pandhawa; Prabu Yudhistira, Bima, Arjuna, dan Nakula-Sadewa. 

Tokoh punakawan dalam pewayangan. Foto: ist

Pada prinsipnya Ki Lurah Semar dan anak-anaknya adalah simbol dari rakyat kecil yang mengabdi kepada bendara (tuan)-nya, yaitu para satriya Pandhawa. 

Dalam hal ini, punakawan tersebut ada dua jenis, yakni: Pertama, para punakawan bernama Ki Lurah Semar Gareng Petruk dan Bagong yang menjadi pamomong atau abdi bagi ksatria utama (protagonis) seperti Raden Arjuna, Abimanyu dan sebagainya. Dalam hal ini peran punakawan itu sinkron dengan amar maruf (mengajak kebaikan). Artinya para punakawan itu biasanya selalu membimbing, mengarahkan, menunjukkan ke jalan yang benar kepada bendara (tuan)-nya. 

Kedua, para punakawan bernama Togog Mbilung dan Saraita yang menjadi abdi dalem para ksatria berwatak antagonis (jahat) yang biasanya dipresentasikan para ksatria sabrangan (dari negeri seberang). Mereka itu biasanya berwajah raksasa, seperti Raden Indrajid dari Negara Ngalengkadiraja, Raden Kartopiyoga dari Negeri Tirta Kadhasar, dan sebagainya. 

Prinsipnya, para punakawan tersebut memiliki peran nahi munkar (mencegah kejahatan) dengan cara mengingatkan kepada bendara-nya. 

Seperti diketahui bahwa dalam pewayangan dikenal ada penguasa di jagad raya yang bermarkas di Kahyangan Jonggring Saloka yaitu Bathara Guru (Sang Hyang Jagad Pratingkah, Bathara Manikmaya). Dalam mengemban tugasnya, Bathara Guru dibantu seorang Patih (orang kedua) bernama Bathara Narada. Yang menjadi pembesar di kahyangan adalah para putra Bathara Guru, seperti Bathara Brama, Bathara Bayu, Bathara Wisnu, Bathara Endra, Bathara Kamajaya, dan sebagainya.

Dalam hal ini ada yang menarik berkaitan dengan silsilah Bathara Guru alias Bathara Manikmaya yang ternyata ia adalah adik dari Ki Lurah Semar (Bathara Ismaya) dan Ki Lurah Togog (Bathara Tejomantri). Ketiganya memang bersaudara putra Sang Hyang Tunggal. Sementara Sang Hyang Tunggal putra Sang Hyang Wenang. Konon, Sang Hyang Tunggal memperistri Dewi Rekathawati. Tetapi anehnya Dewi Rekathawati bukan melahirkan anak, tetapi sebuah telur. Telur tersebut lalu terbang di hadapan Sang Hyang Wenang di Kahyangan Alang-Alang Kumitir. Setelah berada di depan Sang Hyang Wenang, telur tadi menetas sendiri hingga muncullah tiga makhluk laki-laki yang bersifat antropomorfis. 

Pertama, Tejamantri yang berasal dari kulit telur. Kedua, Ismaya yang berasal dari putih telur. Ketiga, Manikmaya yang berasal dari kuning telur. 

Dikisahkan bahwa ketiganya terlibat dalam suatu perdebatan tentang siapa yang berhak menggantikan kedudukan ayahanda mereka menjadi penguasa di Kahyangan Jonggring Saloka. Dalam perdebatan itu, tiba-tiba Manikmaya mengusulkan suatu perlombaan atau pertandingan yang cukup unik, yakni menelan gunung lalu memuntahkannya kembali. 

Semuanya sepakat. Yang pertama melakukan yaitu Tejamantri. Ia berusaha menelan sebuah gunung, tetapi ternyata gagal hingga mulutnya sobek. Tak ayal mulut Tejamantri terlihat terbuka menganga lagi lebar. Dengan demikian, Tejamantri yang semula berwajah tampan itu akhirnya berubah menjadi membesar dan bulat dengan mulut menganga. 

Selanjutnya Ismaya melakukan perlombaan itu. Ternyata ia berhasil menelan sebuah gunung, tetapi tidak bisa memuntahkannya. Walhasil sebuah gunung itu masih berada di perut Ismaya. Tak ayal, Ismaya yang semula berwajah tampan, setelah kejadian itu akhirnya tubuhnya berubah menjadi bulat dengan wajah tidak tampan lagi. Dan, karena atraksi perlombaan itu menyebabkan gara-gara (menjadi gonjang-ganjing) di kahyangan hingga datanglah Sang Hyang Wenang. Sebagai seorang kakek mereka, Sang Hyang Wenang membatalkan perlombaan tadi dan memberikan tugas kepada ketiga orang cucunya. 

Pertama, Tejamantri yang mulutnya terbuka lebar itu diberi nama Togog yang bertugas menemani dan membimbing para satriya dari para raksasa di muka bumi. 

Kedua, Ismaya yang badannya bulat dan gemuk karena pernah menelan sebuah gunung itu diberi nama Semar. Ia diberi tugas menemani atau membimbing para satria utama di madyapada (bumi). 

Ketiga, Manikmaya diputuskan sebagai raja di Kahyangan Jonggring Saloka dengan memimpin para dewa.   

Itulah keputusan atau kebijaksanaan Sang Hyang Wenang kepada ketiga orang cucunya, putra Sang Hyang Tunggal. Lalu mereka menjalankan tugasnya masing-masing. Tejamantri alias Togog menemani para ksatria raksasa di negeri seberang (sabrangan), Ismaya alias Semar membimbing para ksatria utama di bumi, sedang Manikmaya menjadi penguasa di Kahyangan Jonggring Saloka. 

Dengan penampilan bermulut terbuka lebar seperti itu cocok kiranya jika Togog memiliki tugas nahi munkar (mencegah kejahatan). Artinya selalu mengingatkan kepada bendara atau tuannya agar tidak menempuh kejahatan di muka bumi. 

Namun, meski Togog dan anaknya Saraita serta Mbilung berulangkali mengingatkan tuannya, tetapi bendara-nya putra raja raksasa itu tetap bengal dan keras kepala. Para raksasa itu tetap melakukan aksi kejahatan di muka bumi. Sementara Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng Petruk dan Bagong membimbing para ksatria utama di muka bumi dengan misi memayu hayuning bawana. 

Dalam konteks demokratisasi di tanah air, maka Bathara Guru identik dengan para elite pemimpin negeri ini, sementara Togog dan Semar merupakan pengejawantahan dari rakyat kecil. Para pemimpin yang mewakili eksekutif, legistlatif dan yudhikatif di tingkat pusat identik dengan Bathara Guru, sedang Togog dan Semar adalah penjelmaan rakyar. Seorang Presiden adalah mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), maka MPR merupakan penjelmaan rakyat Indonesia. Dan, berdasarkan UUD 1945, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. 

Dalam pewayangan, ketika Bathara Guru sedang menjalankan tugasnya ada kekhilafan atau dengan sengaja melakukan suatu kesalahan, maka seringkali digambarkan Ki Lurah Semar memprotes kebijakan yang salah itu. Bukan hanya perdebabatan saja, bahkan kerapkali Ki Lurah Semar menghajar Bathara Guru yang bertindak keliru dalam menjalankan kebijakannya.  

Barangkali, inilah pesan penting Sunan Kalijaga mengenai demokrasi dalam tradisi pewayangan yang telah mengakar bagi orang Jawa. Dalam negara demokrasi, kepemimpinan tertinggi berada di tangan rakyat yang direpresentasi oleh lembaga tertinggi negara yaitu MPR (Majelis Permusyawartan Rakyat). 

Semar merupakan manifestasi dan sekaligus melambangkan rakyat, sementara Bathara Guru adalah melambangkan seorang pemimpin atau penguasa (eksekutif) di jagad raya. 

Ketika seorang pemimpin (Bathara Guru) melakukan suatu pelanggaran dengan mengorbankan atau merugikan para ksatria (para Pandhawa) yang bertugas memelihara kehidupan di muka bumi, maka Semar sebagai representasi rakyat menggugat hingga mengalahkan Sang pemimpin. 

Dalam demokrasi pewayangan yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga tersebut, meminjam istilah Cak Nun atau budayawan Emha Ainun Nadjib seperti bulatan atau berbentuk lingkaran. Tidak horisontal an-sich, tetapi juga vertikal. 

Dalam hal ini, Semar yang sehari-harinya hanya menjadi lurah di padepokan Karang Kadhempel melambangkan rakyat. Demikian halnya dengan anak-anaknya Gareng Petruk dan Bagong yang menjadi pamomong para Pandhawa beserta anak-anak mereka. Semar beserta anak-anaknya yang hampir-hampir tak pernah luput dari tindakan jahat demi kepentingan tertentu yang dilakukan oleh Bathara Guru dan putra-putranya. 

Penyelewengan kekuasaan oleh Bathara Guru dapat selalu dipantau dan diawasi oleh Semar, bahkan tak jarang Semar mengambil tindakan atau sebut aja memberi hukuman kepada adiknya Bathara Guru yang melakukan pelanggaran. 

Hal itu mengisyaratkan betapa peran rakyat yang dipresentasikan oleh Semar dalam pewayangan itu sinkron dengan makna demokrasi bahwa kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Artinya, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang kemudian diwakili oleh lembaga tinggi negara DPR RI dan lembaga tertinggi negara MPR RI harus berdaya. Harus memiliki kekuatan dan kedaulatan. 

Tetapi, sayangnya MPR kita sekarang ini sudah berbeda dengan yang digagas oleh para faunding fathers melalui UUD 1945. (PAR/ws/nng)

(*) Wawan Susetyo, Sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *