
Rajapatni.com: SURABAYA – Mengenalkan kembali aksara Jawa sebagai bagian dari penyelamatan, perlindungan dan pelestarian identitas budaya dan peradaban Nusantara tidaklah mudah. Apalagi pengenalan itu di suatu daerah, yang sudah menjadi rumah bagi berbagai keberagaman etnis dan budaya, yang sangat heterogen. Surabaya tidak hanya rumah bagi etnis tertentu saja.
Karenanya aksara Jawa di Surabaya menjadi minoritas di antara belantara kemajuan budaya dan peradaban perkotaan. Aksara Jawa seolah terhimpit dan tercekik di ketiak kemajuan budaya kontemporer dan modern. Aksara Jawa bisa mati di tengah tengah belantara hutan kota dengan lebatnya gedung gedung pencakar langit, hingar bingar deru mesin bermotor dan bisingnya hiburan malam dengan bunyi bunyian terompet serta gelak tawa wanita bercelana jeans dan yang sudah meninggalkan kebaya.
Dalam konteks pergaulan sosial, di kota ini yang terdengar adalah suara suara dari bahasa bahasa mancanegara seperti Belanda, Inggris dan China. Papan papan nama pariwara tidak lagi beraksara Jawa. Entah budaya apa yang melanda kota ini.
Kota ini seperti kekeringan dan kehilangan kedung budaya Jawa, khususnya Aksara Jawa. Karenanya kota ini butuh utusan, misioner atau Caraka budaya, yang bisa membawa kembali aksara Jawa kepangkuan Surapringga (nama Surabaya lama).
Siapapun Caraka Aksara, yang datang di Surabaya, haruslah para Caraka yang kebal dari segala tantangan dan tentangan. Surabaya bagai kawah candradimuka. Siapun caraka yang datang bagai antara hidup atau mati di Candradimuka. Mati berarti kalah dalam menghadapi tantangan dan tentangan. Akibatnya, gagallah dalam membawa kembali aksara Jawa di bumi Surapringga (Surabaya).
Kata Surapringga pernah ditulis dalam Aksara Jawa (baru). Buktinya ada di Prasasti pendirian Masjid Kemayoran (1850 M) di jalan Indrapura Surabaya. Pun demikian dengan kata Surabaya (Syurabhaya) juga pernah ditulis dalam Aksara Jawa Kuna (Kawi). Buktinya ada pada prasasti Canggu (1358 M), yang kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
Siapapun para Caraka itu, mereka adalah orang orang yang harusnya telah berbekal imun kuat, terimunisasi aksara Jawa kuat sehingga menjadi tangguh dan kebal.
Mereka memang harus terimunisasi oleh pengetahuan dan ketrampilan aksara Jawa. Mereka harus terimunisasi visi penyelamatan dan pelestarian aksara Jawa. Sehingga dalam menjalankan misi pengenalan, penyelamatan dan pelestarian aksara Jawa, mereka bisa berhasil.
Namun untuk menuju gerbang keberhasilan saja masih butuh waktu dan jalan yang panjang, konsistensi, terus menerus dan penuh ikhtiar yang dibarengi dengan bekal visi yang kuat, tajam dan jernih sehingga gerak langkahnya terarah.
Ketika sekarang di semua kantor kelurahan, kecamatan, OPD hingga Kantor Balai Kota Surabaya termasuk Kantor DPRD Kota Surabaya sdah bersignage aksara Jawa, ini terhitung masih sekelumit langkah baik. Masih sekelumit saja. Tetapi OK lah, sudah menjadi pencerah.
Namun, tantangan dan tentangan masih akan datang menghadang. Bila para Caraka Aksara itu kuat, mereka akan selamat dalam mengusung aksara Jawa. Tapi bila para Caraka Aksara ini lemah, maka mereka akan binasa terkubur oleh gelak tawa mereka yang belum sejalan dengan hadirnya aksara Jawa.
Untuk sementara ini mereka boleh dianggap sebagai adalah orang orang yang memang belum punya rasa kepedulian, rasa pengertian dan rasa kesadaran terhadap pentingnya menjaga, melindungi dan melestarikan aksara Jawa sebagai aset dan identitas bangsa.
Siapapun mereka, mereka adalah semua pihak dan stakeholders yang belum memiliki kesadaran, pengertian dan kepedulian terhadap aksara Jawa.
Maka misi para Caraka Aksara Jawa ini tidak mudah. Ingat, para Caraka Aksara ini adalah minoritas di tengah mayoritas yang multi etnis di kota Surabaya.
Untungnya di balik keberagaman itu, Surabaya adalah rumah toleransi keberagaman mulai dari etnis hingga agama dan kepercayaan. Mereka bisa menentukan mana untuk kepentingan bersama dan mana yang bersifat individu dan kelompok.
Selamat mengemban tugas para Caraka Aksara Jawa. (PAR/nng)