Rajapatni.com: Surabaya (13/5/34) – KISAH ini dalah pengalaman penulis. Usai melakukan misi perjalanan budaya terkait dengan upaya pemajuan Aksara Jawa, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni mendapat oleh oleh berupa gagasan. Selanjutnya, gagasan gagasan itu dituangkan melalui penulisan artikel budaya yang telah dimuat di media ini.
Ternyata selain itu, masih ada satu ide lagi yang bisa menjadi sebuah wacana. Ide ini tidak muncul secara langsung dari pengamatan lapangan selama perjalanan budaya (10-11 Mei 2024), tapi muncul pada pasca misi budaya melalui pesan mimpi.
Menurut AH Thony, penasehat ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, yang turut dalam perjalanan itu, bahwa dalam mimpi itu ada energi yang terakumulasi setelah mengamati dan berpikir tentang isu yang dibawa dan didiskusikan secara langsung di situs situs yang menjadi tempat kunjungan.
“Itu namanya ꦫꦒꦱꦸꦏ꧀ꦩ Ragasukma, yang artinya sejenis proyeksi astral, yang dikenal dalam masyarakat Indonesia. Orang yang mengalami ragasukma dipercaya dapat mengeluarkan jiwa dari badannya tanpa menyebabkan kematian”, jelas Thony, yang juga sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya.
Memang dalam tidur, jiwa bisa diajak kembali menjelajah ke tempat tempat yang pernah dikunjungi tatkala energi pikir masih mempengaruhinya atau apa yang ia pikirkan belum lengkap. Maka dalam mimpi itulah kekuatan energi itu melengkapinya.
Dalam mimpi itu muncul pesan yang berkata bahwa seyogyanya ada penulisan aksara Jawa di candi candi itu. Candi menjadi tempat yang tepat dan strategis untuk penggunaan aksara Jawa dan aksara Nusantara lainnya sesuai dengan fakta sejarah dan ꦭꦺꦴꦒꦶꦏ logika.
“Ya, aksara Jawa dan Aksara Kawi sangat tepat”, kata Thony, tokoh penggerak budaya Surabaya.
Dalam misi perjalanan budaya itu, ketika singgah di ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦱꦶꦔꦱꦫꦶ Candi Singasari, Thony sebenarnya juga sempat berdiskusi dengan rekan se tim Rajapatni, kecuali saya karena saat itu sedang melakukan wawancara dengan mahasiswa dan dosen Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang. Thony dan rekan (Novita, sekretaris) termasuk dengan juru pelihara candi Singasari memang mendiskusikan penggunaan aksara Jawa di candi candi. Kala itu, saya tidak terlibat dalam diskusi itu.
Ternyata energi pembicaraan, fakta lapangan yang seyogyanya candi menjadi tempat yang tepat dan layak untuk aktualisasi penulisan aksara Nusantara dan perhatian bersama dalam pemajuan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa, hadir bersama melalui energi mimpi yang membawaku menjelajah alam astral dalam melengkapi misi perjalanan budaya.
Dalam energi mimpi itulah, saya dihantarkan kepada kekuatan yang menjadi puncak kesimpulan misi perjalanan budaya. Yaitu upaya ꦥꦼꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶꦪꦤ꧀ pelestarian dan pemajuan aksara Jawa melalui candi candi.
Tempat Tepat dan Strategis
Gagasan penulisan Aksara Jawa dan Kawi pada candi candi yang ada di Jawa Timur adalah tepat sekali sebagai upaya bersama dalam pelestarian dan ꦥꦼꦩꦗꦸꦮꦤ꧀ pemajuan aksara Jawa (kebudayaan). Melalui cara itu berarti ada upaya merekatkan kembali peradaban. Di era percandian (klasik), aksara Kawi adalah simbol komunikasi tertulis di zamannya. Sementara Aksara Jawa pada era selanjutnya adalah turunan aksara Kawi. Ajsara Jawa hingga kini masih digunakan di masyarakat meski masih terbatas dan bahkan memprihatinkan.
Karena keberadaannya masih digunakan, termasuk di dalam dunia pendidikan (SD dan SMP, termasuk sebagian SMA), maka penggunaan aksara Jawa di candi candi menjadi sangat edukatif. Candi menjadi tempat ꦮꦶꦱꦠꦌꦣꦸꦏꦱꦶ wisata edukasi. Jadi, dengan menggunakan aksara Jawa dan Kawi di candi candi menjadi informasi bahwa aksara Kawi dan Jawa adalah aksara yang secara historis pernah menjadi aksara yang digunakan pada masa lalu.
“Ini cara dalam merekatkan kembali ꦥꦼꦫꦣꦧꦤ꧀ peradaban masa lalu dengan masa sekarang sehingga peradaban masa lalu tidak digilas oleh zaman”, kata Thony.
Sementara itu, Andy Asmara, Pimpinan Redaksi majalah beraksara Jawa, ꦄꦗꦶꦱꦏ Aji Saka, produksi Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) mengapresiasi munculnya gagasan penulisan aksara Jawa dan aksara Kawi di candi candi yang tersebar di Jawa Timur.
“Setuju sekali. Itu sangat bagus untuk edukasi dan pengenalan kembali serta menanamkan rasa cinta terhadap ꦧꦸꦣꦪꦧꦁꦱ budaya bangsa guna meneguhkan penghayatan nilai-nilai luhur dan rasa nasionalisme, yang dewasa ini sudah terdegradasi oleh zaman “, jelas Andy yang berdomisili di Kampung Majapahit Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Sedangkan pendiri Puri Aksara Rajapatni, ꦆꦠꦯꦸꦫꦗꦪ Ita Surojoyo, menegaskan bahwa Aksara Jawa adalah turunan dari aksara Kawi, yang kala itu umum dipakai sebagai media komunikasi tertulis. Bahkan bukti bukti adanya aksara Kawi masih banyak ditemukan di percandian di Jawa Timur, termasuk artefak artefak prasasti yang bertulis Aksara Kawi yang tersimpan di Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM) Trowulan di Kabupaten Mojokerto.
Candi adalah ꦩꦺꦣꦶꦪꦌꦣꦸꦏꦱꦶ media edukasi yang banyak dikunjungi oleh mulai anak sekolah, warga umum hingga wisatawan mancanegara negara. Ketika candi menjadi etalase literasi aksara Jawa dan Kawi, maka kompendium pengetahuan masa lalu bisa merekat dengan masyarakat masa kini.
“Mengembalikan kemampuan membaca aksara lokal, dalam konteks ini aksara Jawa, adalah langkah mengintegrasikan kembali kompendium pengetahuan lokal tersebut dengan masyarakat masa kini”, kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam catatan tertulisnya pada peresmian berdirinya komunitas budaya ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni pada 22 Desember 2023. (nanang PAR)*