Sejarah:
Rajapatni.com: SURABAYA – Penjara Bubutan (Koblen) adalah bukti perkembangan Kota Surabaya. Lokasinya di daerah Bubutan, kecamatan Bubutan, Surabaya. Kawasan ini masih bersinggungan dengan beberapa kampung tua. Di Bubutan ada pendopo Gedung Nasional Indonesia (GNI), Kantor Besar NO (Nahdlatoel Oelama) dan Panti asuhan Meesjesweeshuis Boeboetan, yang selanjutnya digunakan Rumah Sakit Mardi Santoso.
Bubutan ke selatan sedikit adalah kawasan Sawahan. Sawahan adalah kawasan permukiman, yang merupakan kawasan elit (Bovenstad) pengembangan Surabaya Lama (Benedenstad).
Pengembangan Surabaya ini seirama dengan kawasan lain seperti misalnya Ketabang, Pacarkeling, Gubeng, Darmo, Sawahan dan Kupang. Pada tahun 1920-an, di kawasan kawasan itu sudah mulai dilengkapi dengan fasilitas publik seperti gereja, sekolah dan rumah sakit selain rumah rumah pemukiman.
Pun demikian di daerah Bubutan. Di era pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Walikota Surabaya Ir. Dykerman mulai banyak dikritik mengenai belum tersedianya fasilitas penjara baru ketika perkembangan kota bergerak ke selatan pada tahun 1920-an. Sementara fasilitas umum lainnya sudah mulai dibangun pada tahun 1920-an seperti gedung Balai Kota di Ketabang (1923), Sekolah Santa Maria di Darmo (1920), pengadilan di Sawahan (1924) dan gereja Kristen di Bubutan (1924).

Karena banyaknya kritik itu, Pemerintah Kota Surabaya secara berangsur menyiapkan dana untuk rencana pembangunan penjara. Menurut literasi delpher.nl dana yang dibutuhkan sebesar f 45.000 gulden untuk pengadaan lahan, f 76.000 gulden untuk pembangunan tembok penjara, dan f 20.000 gulden untuk pembangunan ruang sel sel tahanan.
Ketika pemilihan lokasi untuk pembangunan penjara sudah muncul, maka berbagai perdebatan pun muncul lagi. Awalnya, pemilihan lokasi penjara baru itu ada di daerah Sawahan karena dianggap berdekatan dengan kantor pengadilan.
Namun pemerintah Kota Surabaya tidak setuju. Pertimbangan pemerintah sendiri adalah bahwa lokasi itu dianggap jauh dari Balai Kota, yang berlokasi di Ketabang. Selain itu, pertimbangan lain agar penjara baru tidak boleh jauh dari penjara lama Kalisosok, yang ada di kota lama (Benedenstad).
Ada satu pertimbangan penting lagi, yaitu agar penjara baru tidak jauh dari gereja yang menjadi sumber pelayanan rohani bagi tawanan.
Dengan mempertimbangkan semua itu, kemudian ditemukan lahan kosong yang tidak ada penghuni. Lokasinya tidak jauh dari gereja serta berada di antara kantor pengadilan, Balai Kota dan penjara lama Kalisosok. Tempat itu ada di Bubutan, berjarak sekitar 200 meter di barat Gereja Bubutan.
Di sanalah dibangun penjara baru. Nama aslinya adalah Penjara Bubutan. Penjara baru ini secara arsitektural didesain serasi dengan lingkungan, harus tampak elit, tidak boleh sangar dan menakutkan. Karenanya dipilih dan digunakan batu cadas seperti batu hias Palimanan. Batu ini digunakan untuk konstruksi bangunan dinding/tembok penjara.
Konstruksi dinding, yang terbuat dari batu, di Eropa dikenal dengan sebutan Kobbelsteen (Cobblestone) sehingga penjara ini disebut Gevangenis Kobbelsteen. Karena lidah lokal pengucapan Kobbelsteen berubah menjadi Koblen. Maka jadilah Penjara Koblen atau penjara batu.
Nama Penjara Koblen lebih terkenal dari Penjara Bubutan sehingga menggantikan nama Bubutan. Semakin kuat lagi ketika ada perubahan nama nama jalan, yang berbau Belanda menjadi nama lokal/nasional pada tahun 1950 ketika pemerintah Kota Surabaya menggantinya.
Nama Jalan Pirngadi dulunya adalah Nieuwe Kerkstraat karena ada Gereja baru sebagai pengganti gereja protestan di kota lama, Jalan Pawiyatan, yang dulunya adalah Boeboetan Ambachtsschool (BAS), jalan Yasan Praja yang dulunya bernama Huygenstraat serta jalan Galuhan yang dulunya bernama Jan van der Heidenstraat. Nama nama itu ada disekitar penjara Bubutan/Koblen.
Belum lagi dari nilai kesejarahan terkait dengan sejarah perjuangan arek arek Surabaya dan pernah digunakan sebagai Kamp Interniran di masa pendudukan Jepang. Eks Penjara Koblen ini memiliki perjalanan Sejarah Panjang yang perlu dijaga kelestariannya. Eks Penjara Koblen menjadi tetenger perjalanan sejarah Surabaya. Melalui struktur bangunan yang tersisa yang berupa tembok penjara, kiranya bisa menjadi bukti dan tetenger sejarah kota.
Komitmen Buat Ruang Sejarah Koblen.

Berangkat dari nilai dan peristiwa sejarah di situs penjara Koblen, pengelola eks Penjara Koblen sudah merancang satu sarana edukasi sejarah di dalam area eks tembok penjara seiring dengan pembangunan Pasar Buah Koblen.
Menurut I Wayan Arcana, pengelola eks penjara Koblen, bahwa konsep pasar adalah pasar wisata yang dalam satu paket dengan sarana ruang sejarah Koblen.
“Selain berbelanja, pengunjung juga bisa belajar sejarah Surabaya, yang ada di Koblen”, harap Wayan.
Karenanya Wayan juga sedang mengumpulkan dan menyusun narasi sejarah tentang Koblen.
“Kedatangan tamu Belanda beberapa hari lalu sudah berkontribusi terhadap nama Koblen khususnya nama Penjara Koblen yang sebelumnya disebut Penjara Bubutan”, terang Wayan ketika menemui dua tamu dari Belanda; Jeffry Pondaag dan Irfan Jaya Laksana pada Jumat, 25 April 2025.

Selain itu Wayan juga sepakat dan mendukung kegiatan Lomba Sketsa yang mengambil obyek Tembok Koblen sebagai tema. Lomba Sketsa ini adalah inisiasi untuk mengenalkan sejarah Koblen dan nilai nilai kejuangan yang tertoreh di Penjara Koblen pada masa lalu. Sebagai tindak lanjut pembinaan kebangsaan, dua pemenang lomba akan diberi kesempatan belajar ke jenjang perguruan tinggi di Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya. (PAR/nng).