Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – ꧌ꦏꦲꦸꦩ꧀꧍ Kaum bangsawan Jawa (priyayi) pada masa kolonial ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda sering kali terlibat dalam kerjasama dengan pemerintah kolonial, meskipun ada pula yang menentang. Mereka ini adalah ꧌ꦒꦺꦴꦭꦺꦴꦔꦤ꧀꧍ golongan yang mendapatkan posisi ꧌ꦊꦧꦶꦃꦅꦱ꧀ꦠꦶꦩꦺꦮ꧍ lebih istimewa dan keuntungan tertentu sebagai ꧌ꦩꦶꦠꦿ꧍ mitra. Tetapi juga mengalami perubahan dan tekanan akibat pengaruh ꧌ꦥꦼꦚ꧀ꦗꦗꦃ꧍ penjajah.
Kaum ꧌ꦥꦿꦶꦪꦪꦶ꧍ priyayi diangkat menjadi pegawai negeri oleh pemerintah Hindia Belanda, ꧌ꦱꦼꦲꦶꦔ꧀ꦒ꧍ sehingga mereka menjadi bagian dari sistem pemerintahan kolonial. Mereka juga memainkan ꧌ꦥꦼꦫꦤ꧀ꦥꦼꦤ꧀ꦠꦶꦁ꧍ peran penting dalam mengawasi dan mengontrol masyarakat Jawa.
Tetapi ada juga beberapa bangsawan Jawa yang ꧌ꦠꦼꦂꦭꦶꦧꦠ꧀꧍ terlibat dalam pemberontakan dan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Contohnya ꧌ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦼꦫꦺꦴꦤ꧀ꦠꦏꦤ꧀ꦢꦶꦥꦫꦒꦫ꧍ pemberontakan Pangeran Diponegoro yang kemudian dikenal sebagai Perang Jawa (1825-1830)
Di museum Rijksmuseum ꧌ꦄꦩ꧀ꦱ꧀ꦠꦼꦂꦞꦩ꧀꧍ Amsterdam, kalangan priyayi dengan jabatan penting dalam sistem ꧌ꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦲꦤ꧀꧍ pemerintahan terpampang sebagai sebagian artefak museum. Yaitu dalam bentuk ꧌ꦭꦸꦏꦶꦱꦤ꧀꧍ lukisan tokoh kaum elit baik di Jawa maupun di Bali.
Dalam lukisan itu terpampang pakaian dan motif ꧌ꦧꦸꦱꦤ꧍ busana yang digambarkan secara akurat dan menandakan asal usul mereka, pangkat, dan status mereka.
Dari ꧌ꦏꦼꦫꦶꦱ꧀꧍ keris yang dibawa menunjukkan ada keris model Bali dan Jawa. Lukisan ini merupakan pengetahuan tentang ꧌ꦠꦠꦏꦿꦩ꧍ tata krama dan penampilan mereka yang sangat penting secara ꧌ꦥꦺꦴꦭꦶꦠꦶꦱ꧀꧍ politis bagi pemerintahan kolonial.
Kala itu kaum ꧌ꦌꦭꦶꦠ꧀꧍ elit semakin dikerahkan untuk mengendalikan dan mengeksploitasi koloni pada paruh pertama abad ke-19. ꧌ꦝꦼꦩꦶꦏꦶꦪꦤ꧀꧍ Demikian narasi secara online yang menjelaskan koleksi Rijkmuseum yang berasal dari Nusantara. Lukisan lukisan ini berasal dari ꧌ꦥꦺꦫꦶꦪꦺꦴꦝꦼ꧍ periode sekitar tahun 1820 hingga 1870.
꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo dari ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni menyaksikan simbol simbol Jawa ini di Rijkmuseum, Amsterdam.
꧌ꦏꦼꦫꦺꦠ꧍ Kereta Kencana Ratu Belanda
꧌ꦱꦼꦭꦲꦶꦤ꧀꧍ Selain lukisan di dalam museum, juga ada lukisan pada benda bergerak. Yaitu kereta ꧌ꦏꦼꦚ꧀ꦕꦤ꧍ kencana Ratu Belanda. Sayang lukisan pada kereta kencana ꧌ꦫꦠꦸꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Ratu Belanda ini menggambarkan perbudakan di era kolonial.
꧌ꦏꦼꦧꦼꦫꦝꦄꦤ꧀꧍ Keberadaan kereta kencana dengan lukisan ini digunakan di depan publik dan ꧌ꦝꦶꦠꦸꦩ꧀ꦥꦔꦶ꧍ ditumpangi oleh ratu Belanda.
Dikutip dari Dutch Culture in a European Perspective: 1900, the age of bourgeois culture, Kereta Emas atau The Golden Coach itu ꧌ꦩꦼꦫꦸꦥꦏꦤ꧀꧍ merupakan persembahan masyarakat Amsterdam dengan bahan-bahan dari Belanda dan ꧌ꦠꦤꦃꦗꦗꦲꦤ꧀ꦚ꧍ tanah jajahannya. Karena menggambarkan ꧌ꦥꦼꦂꦨꦸꦝꦏꦤ꧀꧍ perbudakan di tanah jajahan, lukisan pada kereta kencana itu ꧌ꦩꦼꦤꦸꦮꦻ꧍ menuai pro dan kontra. Sebaiknya lukisan itu tidak ꧌ꦝꦶꦥꦼꦂꦡꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦤ꧀꧍ dipertontonkan dan ditampilkan lagi di masa modern.
Kereta itu adalah ꧌ꦲꦝꦶꦪꦃ꧍ hadiah, yang diinisiasi oleh pendukung House of Orange dan Vereeniging van het Amsterdamsche Volk (Persatuan Masyarakat Amsterdam) dengan menggalang ꧌ꦝꦺꦴꦤꦱꦶ꧍ donasi yang terkumpul pada ꧌꧇꧑꧘꧙꧘꧇꧍ 1898.
Hadiah itu sebetulnya ꧌ꦝꦶꦠꦸꦗꦸꦏꦤ꧀꧍ ditujukan kepada Ratu Wilhelmina pada saat penobatannya tahun 1898. Kereta itu diukir dari ꧌ꦏꦪꦸꦗꦠꦶ꧍ kayu jati oleh pengrajin lokal Jawa dan dibiayai dengan ꧌ꦱꦸꦩ꧀ꦧꦔꦤ꧀꧍ sumbangan.
Kereta itu sempat tak digunakan oleh Ratu, namun pada 1901, ꧌ꦫꦠꦸꦮꦶꦭ꧀ꦲꦺꦭ꧀ꦩꦶꦤ꧍ Ratu Wilhelmina dan suaminya mengendarainya di hari ꧌ꦥꦼꦂꦟꦶꦏꦲꦤ꧀꧍ pernikahan.
Menurut ꧌ꦫꦶꦮꦪꦠ꧀꧍ riwayat kereta itu juga pernah digunakan dalam pembaptisan Putri Juliana pada 1909, pernikahan Putri Juliana dan ꧌ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀꧍ Pangeran Bernhard pada 1937, pembaptisan Putri Beatrix pada tahun 1938, pelantikan ꧌ꦫꦠꦸꦪꦸꦭꦶꦪꦤ꧍ Ratu Juliana pada 1948, pernikahan Putri Beatrix dan Pangeran Claus pada 1966, dan pernikahan Pangeran Willem-Alexander dan Putri Máxima pada ꧌꧇꧒꧐꧐꧒꧇꧍ 2002.
Menurut Jeffrey Pondaag, ꧌ꦮꦂꦓ꧍ warga Indonesia yang sudah lebih dari ꧌꧇꧕꧐꧇ꦠꦲꦸꦤ꧀꧍ 50 tahun tinggal di Belanda, kereta itu sudah tidak digunakan lagi ꧌ꦱꦼꦠꦼꦭꦃ꧍ setelah banyak kritik mengenai simbol perbudakan. (PAR/nng).