Rajapatni.com: Surabaya (9/10/24) – Di komplek Candi Jolotundo, di desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, persis di lereng Gunung Penanggungan, terdapat sebuah batu berbentuk kotak (bujur sangkar). Posisinya berdiri di depan Petirtaan Jalatunda. Pada tampak depan tertulis dalam aksara Jawa yang berbunyi “Candi Triloka Jalatunda”. Batu prasasti ini bukan prasasti lama. tapi relatif baru dan entah kapan dibuat dan dibuat oleh siapa.

Siapapun pembuatnya dan kapanpun dibuat, upaya itu patut dihargai sebagai bentuk upaya pelestarian aksara Jawa, yang ditempatkan pada ruang yang sangat tepat. Yaitu di komplek percandian. Aksara Jawa, yang dipakai pada prasasti ini, adalah jenis Aksara Jawa Baru. Pada masa pembangunan Petirtaan Jalatunda di abad 10, aksara yang digunakan kala itu masih Jawa Kuna atau Kawi. Bukan aksara Jawa baru.
Kekunoan Candi ini bisa dilihat pada dinding Candi di atas kolam. Disana terdapat terdapat tulisan yang dikenal dengan Aksara Kwadrat Kediri. Pada dinding sebelah kiri (dilihat dari depan) terdapat tulisan yang berbunyi Udayana. Sementara pada dinding sebelah kanan bertuliskan angka tahun 899 Saka atau 977 Masehi.

Candi ini dibangun sejak masa Kerajaan Medang, yang telah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur atau lazim disebut Medang periode Jawa Timur. Diduga paling awal diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Sri Isyana Tunggawijaya, putri raja Medang (Mpu Sindok) dengan suaminya Sri Lokapala, yang merupakan seorang bangsawan dari Pulau Bali.
Melalui aksara, setidaknya kita bisa tau bahasa. Sekarang kita menggunakan bahasa Indonesia. Nantinya dalam 1000 tahun ke depan, kalau tidak ada teks bahasa Indonesia yang ditulis pada media buku atau lainnya, kita tidak akan tau bahasa apa yang kita gunakan sekarang ini. Buku menjadi media pendokumentasian tertulis sehingga kita tau dalam buku itu berisi bahasa apa. Bisa saja bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jawa dan lain sebagainya.
Manuskrip atau prasasti yang ditulis dalam aksara Jawa Kuna atau Kawi, seperti pada lapik arca Joko Dolog atau dikenal dengan nama Prasasti Wurare, kita jadi tau bahasa yang digunakan. Yaitu bahasa Sansekerta, yang merupakan bahasa asing bagi masyarakat Jawa kala itu.
Menggunakan aksara, apakah Kawi (Jawa Kuna) atau Jawa Baru, untuk penamaan percandian akan membantu menginformasikan bahasa kala lalu dan sekaligus upaya pelestarian aksara itu sendiri. Ayo lestarikan aksara Jawa untuk melestarikan peradaban Nusantara. (PAR/nng)