
Rajapatni.com:SURABAYA – Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA), baik untuk menopang produksi makanan, minuman, barang hingga otomotif dalam negeri. Selain itu Indonesia juga kaya akan sumber daya manusia (SDM), yang mampu mengerjakan dan menghasilkan barang barang mulai makanan, minuman hingga otomotif.
SDA dan SDM adalah komponen komponen lokal dan dalam negeri, yang mampu menjadi dasar produk produk ber TKDN. Yaitu produk produk barang yang memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri.
Dengan produk produk yang memiliki kandungan lokal, maka sesungguhnya ada daya saing, yang semakin kuat dibandingkan dengan produk produk negara lain. Karena negara lain belum tentu memiliki berbagai bahan dasar, yang tersedia di masing masing negara itu untuk mendukung industrinya. Misalnya Singapura, mereka tidak memiliki sumber daya alam, yang bisa menyediakan komponen lokal untuk industrinya.
Dengan produk produk, yang ber TKDN, sesungguhnya sangat mendorong penggunaan komponen dalam negeri (komponen lokal), yang bersumber dari SDA dan SDM dalam negeri. Untuk itu, apapun bentuk dan jenis produk yang dihasilkan di dalam negeri perlu diberi label LOKAL, seperti ketika produk makanan dan minuman yang berstatus HALAL. Disana ada label Halal. Nah, pun demikian dengan produk yang memenuhi kandungan lokal, maka perlu ada label LOKAL.
Karenanya pemberian label lokal terhadap produk produk yang telah memenuhi prosentase penggunaan komponen lokal (TKDN) bukanlah sesuatu hambatan, tetapi malah menjadikan dorongan bersama atas penggunaan komponen dalam negeri.
Terkait dengan upaya pelestarian Aksara Nusantara (Jawa, Bali, Sunda, Lontara dsb), maka produk produk barang (makanan minuman, barang hingga otomotif) yang kandungan lokalnya memenuhi standard bisa diberi label LOKAL dengan menggunakan Aksara Daerah atau Lokal, yang tentu saja pemakaiannya disesuaikan dimana barang barang itu diproduksi.

Jika barang barang itu diproduksi di wilayah Bali, maka penulisan aksara LOKALnya menggunakan Aksara Bali (ᬮᭀᬓᬮ᭄). Misalnya label lokal dalam aksara Bali bisa dipakai pada produk Kacang Bali dan Brem Bali.
Jika barang barang itu diproduksi di wilayah Jawa (Jatim, Jateng dan DIY serta Madura), maka label aksara LOKALnya menggunakan aksara Jawa (ꦭꦺꦴꦏꦭ꧀). Misalnya label lokal bisa digunakan pada produk Wingko Babat dan Bakpia Patok Yogyakarta.
Pun demikian jika barang barang itu diproduksi di Jawa Barat, maka penulisan aksara LOKALnya menggunakan aksara Sunda (ᮜᮧᮊᮜ᮪). Misalnya label dalam aksara lokal bisa dipakai pada makanan dodol Garut.
Pemakaian aksara Nusantara ini hanya sebatas pada penggunaan tulisan label LOKAL untuk menandai bahwa produk barang itu telah memenuhi prosentase penggunaan komponen lokal.
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal, yang harus dimiliki produk dalam negeri, adalah 40%. TKDN adalah nilai kandungan dalam negeri pada barang atau jasa. Maka sesungguhnya melalui labeling LOKAL dalam aksara Nusantara berarti ikut memperkenalkan Aksara Nusantara pada produk roduk dalam negeri, seperti halnya penggunaan Aksara Arab pada label HALAL.
Untuk implementasi gagasan itu, A. Hermas Thony, tokoh penggerak budaya Surabaya yang juga inisiator Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya berpendapat bahwa perlu ada kolaborasi antara pihak pihak kementerian terkait.
“Misalnya Kementerian Kebudayaan yang menangani urusan kebudayaan, termasuk Aksara Nusantara dengan pihak kementerian Perindustrian yang menangani barang barang produksi dalam negeri”, demikian kata A. Hermas Thony, mantan Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya tahun 2019-2024. (PAR/nng).