Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – Ada satu lagi, yang langka di Surabaya terkait dengan aksara Jawa. Yaitu keberadaan aksara kwadrat. Aksara ini tertulis pada gentong andesit di komplek Pesarean para Bupati Surabaya. Di duga sebelum dijadikan sebagai pemakaman para bupati Surabaya di era Kolonial, di tempat ini ada kuburan kuburan yang usianya jauh lebih tua. Yaitu di Pesarean Agung Sentono Botoputih Pegirian. Karenanya perlu ada kajian demi menguak sejarah kota Surabaya.

Jika kita perhatikan tulisan pada gentong di Pesarean Botoputih ini, aksaranya dikenal dengan jenis Kwadrat. Aksara kwadrat memiliki ciri-ciri yang berbeda dibandingkan aksara biasa.
Dari pengamatan lapangan bahwa ciri-ciri aksara kwadrat adalah ditulis besar, tulisan menonjol, dan memiliki bentuk persegi empat. Di dalam istilah matematika, akar kuadrat atau akar persegi ini adalah bilangan x sama dengan bilangan r. Karenanya aksara yang bentuknya persegi ini disebut aksara kwadrat.
Aksara kwadrat banyak ditemukan di Jawa Timur, terutama di Kediri, sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit. Aksara ini juga digunakan pada prasasti-prasasti peninggalan sebelum Majapahit. Misalnya di Petirtaan Jolotundo di lereng gunung Penanggungan, yang merupakan jejak Raja Airlangga, yang berangka tahun 899 Saka (977 Masehi).
Bentuk aksara kwadrat ini unik. Tidak seperti aksara aksara Jawa lainnya, yang ditulis pada batu batu sebagai prasasti. Adapun perbedaan prasasti yang ditulis menggunakan aksara kwadrat dengan aksara biasa adalah terlihat pada teknik penulisannya.
Pada prasasti yang ditulis menggunakan aksara biasa dipahat ke dalam. Sedangkan, prasasti yang ditulis menggunakan aksara kwadrat ditulis dengan gaya relief. Yakni pahatan aksara dibuat menonjol keluar. Pembuatan aksara menonjol ke luar ini jauh lebih sulit dibandingkan dengan pembuatan prasasti dengan pahatan ke dalam.

Ternyata, Surabaya punya artefak yang beraksara kwadrat ini. Ada dua gentong andesit dengan hiasan aksara kwadrat. Pada salah satunya terbaca jelas aksaranya, yang berbunyi “Lamuken”. Menurut kamus Jawa Kuna (P.J. Zoetmulder), yang bekerja sama dengan S.O. Robson dan diterjemahkan oleh Darusuprapta dan Sumatri Suprayitna, Lamuken berarti (hanya) kelihatan samar samar.
Gentong ini berada di dekat gerbang masuk ke makam Ki Ageng Brondong. Sementara gentong lainnya berada di dekat pintu masuk ke petak kuburan yang beraksara Jawa.
Peletakan gentong di setiap gapura ini diduga sebagai pasucen (bersih diri) sebelum masuk petak pemakaman. Sebagaimana pada umumnya gentong di lokasi semacamnya seperti gentong di komplek makam Sunan Muria dan Sunan Ampel, bahwa air gentong dimanfaatkan sebagai sarana bersih diri atau pensucian.

Selain terdapat gentong, di komplek pemakaman kuno Botoputih ini juga terdapat dua lingga, yang rupanya sudah digunakan sebagai nisan. Sebetulnya benda arkeologi semacam ini layak mendapat kajian resmi oleh ahli ahli dan institusi terkait agar hasilnya dapat digunakan sebagai acuan dan sumber informasi sejarah Surabaya.
Nah, tunggu apa lagi? Mumpung masih ada. (PAR/nng)