Aksara Jawa Berpacu Dengan Waktu: Antara Lestari dan Punah

Rajapatni.com: Surabaya (30/9/24) – Provinsi Jawa Timur selama ini menjadi salah satu peserta dalam kongres kongres Bahasa dan Aksara Jawa. Lainnya adalah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kongres Bahasa Jawa telah digelar sebanyak 7 kali. Kongres pertama di Semarang (1991), kedua di Malang (1996), ketiga di Yogyakarta (2001), keempat di Semarang (2006), kelima di Surabaya (2011), keenam di Yogyakarta (2016) dan ketujuh di Surakarta (2023). {1} 

Sementara Kongres Aksara Jawa (KAJ) pertama di masa kolonial diselenggarakan di Sriwedari, Surakarta pada 1922 dan baru dilanjutkan pada masa kemerdekaan dengan label Kongres Aksara Jawa (KAJ) I di Yogyakarta pada 2021. Satu abad berselang. Kongres ini rencananya digelar lima tahunan. Pada 2026 jika tidak ada provinsi, yang menunjukkan kesiapannya, maka provinsi DIY akan menyelenggarakannya pada 2026.

“Kalau provinsi Jateng dan Jatim belum siap, maka Yogyakarta akan jadi tuan rumah”, demikian kata Setya Amrih Prasaja, mantan ketua penyelenggara Kongres Aksara Jawa I (2021).

Kongres Aksara Jawa (KAJ) adalah kegiatan yang diselenggarakan untuk membahas perkembangan, pelestarian, dan permasalahan cara penulisan aksara Jawa. Tujuan dari kongres ini adalah untuk menyusun sebuah pedoman penulisan aksara Jawa karena banyaknya orang-orang yang mempunyai interpretasi sendiri-sendiri dalam gaya penulisan aksara Jawa, padahal semakin banyak terbitan-terbitan cetak yang menggunakan aksara Jawa. {2}

Pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, setelah hampir satu abad vakum, kongres aksara Jawa digelar kembali pada tanggal 22 hingga 26 Maret 2021 di Kabupten Aleman. Daerah Istimewa Yogyakarta. Kongres Aksara Jawa I dihadiri oleh wakil akademisi, praktisi, masyarakat umum, budayawan, birokrat, perwakilan UNESCO, Mendikbud, Gubernur DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tujuan dari Kongres Aksara Jawa I ini adalah untuk membahas tentang semakin minimnya penggunaan dan literasi aksara Jawa, standarisasi transliterasi aksara Jawa ke alfabet Latin, dan proses digitalisasi aksara Jawa. {3}

Dalam perkembangannya pasca KAJ I di Yogyakarta, semakin banyak tantangan yang dihadapi dikaitkan dengan bahasan bahasan dari hasil KAJ I. Yaitu semakin rentannya penggunaan Aksara Jawa, literasi aksara Jawa dan digitalisasi aksara Jawa. 

Gerakan literasi tulis dalam beragam aksara, termasuk aksara Jawa. Foto: PAR

Untuk itu semua, perlu ada gerakan yang terstruktur dan masif dalam hal pengenalan dan pembelajaran aksara Jawa secara manual sebagai dasar untuk penggunaan platform digital. Ketersediaan platform digital yang sudah ada selama ini sangat bagus, tapi masih ada kendala kendala terkait dengan pengguna digitalisasi aksara Jawa. Pada dasarnya mereka mempercayakan hasil digitalisasi, utamanya pada transliterasi. Padahal masih ada kekurangan kekurangan di sana. Akibatnya kekurangan transliterasi itu dianggap benar dan hasil transliterasi digunakan di ranah publik. Ini terjadi di Surabaya.

Melihat kekurangan itu, ada kesimpulan bahwa di tingkat SDM belum mengetahui aksara Jawa. Mereka menganggap hasil transliterasi digital sudah benar. Akibatnya penulisan aksara Jawa di beberapa tempat ada kesalahan. Kesalahan SDM ini tidak saja terjadi pada produsen penulisan (jasa reklame) tetapi juga pada pihak pihak pemesan.

Jadi pemahaman terhadap penulisan Aksara Jawa secara manual adalah penting. Ini menjadi dasar pengetahuan untuk proses proses selanjutnya. Siapa peduli masalah ini? Bagaimana jalan keluarnya? Sekarang ini kita bagai sedang berpacu antara ketidakmengertian dan upaya pengajaran aksara Jawa. Siapa lebih cepat akan menang.

Jika yang lebih cepat adalah ketidakmengertian, maka kita akan pada zona kesalahan dalam penggunaan aksara Jawa.Jika yang lebih cepat adalah pengertian atau pemahaman terhadap aksara Jawa, maka kita akan pada zona kebenaran dalam penggunaan aksara Jawa. Aksara Jawa akan tetap lestari.

Ke depan adalah zona kita akan lestari dengan Aksara Jawa atau kehilangan aksara Jawa. Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Kongres Aksara Jawa I di Yogyakarta (2021) mengatakan bahwa Jika bahasa daerah hanya digunakan oleh penutur berusia 25 tahun ke atas dan usia yang lebih muda tidak menggunakannya, jangan disesali jika 75 tahun ke depan atau tiga generasi, bahasa itu akan terancam punah. 

Punahnya aksara Jawa di Indonesia akan linier dengan punahnya Aksara Jawa. Bagaimana? (PAR/nng)

{1} https://id.wikipedia.org/wiki/Kongres_Bahasa_Jawa

{2,3} https://id.wikipedia.org/wiki/Kongres_Aksara_Jawa

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *