Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – Pemerintah Republik Indonesia melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sedang melakukan penggalian Ingatan Kolektif Nasional (IKON).
Untuk wilayah Jawa Timur akan digelar di Surabaya pada Kamis (8/5/25). Adapun obyek yang digali adalah Naskah naskah kuno atau manuskrip.
Manuscript Tak Bermakna Tanpa Aksara

Manuskrip itu menjadi bermakna bukan karena bending kertasnya tetapi tulisan yang terdapat pada kertas kertas itu. Tulisan itu mengandung aksara yang umumnya adalah aksara Nusantara.

Ita Surojoyo dari Puri Aksara Rajapatni sedang berada di Belanda ketika artikel ini ditulis. Ita membuktikan bahwa manuskrip manuskrip itu beraksara Jawa. Puluhan manuskrip memang dibawa Stamford Raffles karena isinya bermakna dan penting, bukan karena kertasnya.
Suratan beraksara Jawa itulah yang menjadikan bendingan kertas tua menjadi bermakna. Dalam suratan aksara itulah makna peradaban itu ada. Peradaban pikir, karsa dan rasa leluhur Nusantara dapat dibaca dan dipahami. Kita mengenal apa yang dituliskan para leluhur melalui untaian aksara.
Selain Kitab Juga Perlu Fokus ke Aksara
Maka ketika Pemerintah Indonesia melakukan penggalian Ingatan Kolektif Nasional (IKON) hendaknya ke yang lebih esensial. Yaitu pada aksara sebagai produk peradaban yang tertinggi. Tanpa aksara kita tidak tau apa yang diwariskan nenek moyang. Tanpa untaian aksara bendingan kertas tua itu tidak ada artinya, tidak ada harganya.
Aksara memberi arti dan memberi harga. Karenanya justru yang harus difokuskan dalam penggalian Ingatan Kolektif Nasional adalah aksara itu sendiri. Kita memang masih punya aksara aksara daerah, yang akhirnya disebut aksara Nusantara. Tetapi kondisinya menghadapi kepunahan.
Aksara daerah lambat laun ditinggalkan penggunanya. Bukan tidak mungkin aksara daerah akan punah seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman.
“Traditional script will be obsolete”, ujar teman, yang pernah sekelas di kelas TV Jornalism di the Nottingham Trent University pada tahun 2000.
Perlindungan Aksara Daerah
Karenanya perlu ada upaya penyelamatan dan perlindungan untuk pelestarian dan pemanfaatan Aksara Daerah.
Ketika naskah kuno atau manuskrip itu telah diselamatkan maka tahap berikutnya adalah diwariskan. Pewarisan bukanlah fisik buku tetapi isinya yang disimbolkan dengan susunan aksara.
Menggali Aksara daerah sebagai Ingatan Kolektif Nasional tidak hanya di Jawa Timur tetapi di Nusantara. Jangan salahkan jika warga Cia Cia di Sulawesi menggunakan aksara Hangeul Korea. Siapa yang salah?
Aksara Nusantara adalah Ingatan Kolektif Nasional.
Aksara Nusantara memang dapat dianggap sebagai wujud ingatan kolektif nasional. Aksara-aksara ini, yang merupakan bagian dari naskah kuno Nusantara, merekam jejak sejarah, nilai, dan kearifan lokal leluhur bangsa Indonesia.

Penetapan naskah kuno Nusantara sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO menunjukkan pengakuan dunia atas nilai warisan budaya ini.
Naskah-naskah Nusantara, yang tertulis dalam aksara daerah, menyimpan informasi penting tentang sejarah, tradisi, dan budaya bangsa. Mereka menjadi jendela untuk memahami bagaimana masyarakat masa lalu berpikir, bertindak, dan berinteraksi.
Naskah-naskah ini mencakup berbagai bentuk, seperti lontar, daluwang dan kertas dan naskah ditulis dengan berbagai aksara daerah.
Naskah-naskah Nusantara turut membentuk identitas bangsa Indonesia di masa kini. Keberadaan mereka menjadi bukti kuat bahwa bangsa Indonesia memiliki sejarah yang kaya dan tradisi yang beragam.
Penetapan naskah kuno Nusantara sebagai MoW oleh UNESCO menunjukkan bahwa warisan budaya ini diakui secara internasional. Tapi ingat warisan budaya itu terekspresikan lewat aksara aksara daerah. Ini menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia dan mendorong upaya pelestarian lebih lanjut. Tidak hanya kitab kitabnya, melainkan untaian Aksaranya.
Dengan demikian, aksara Nusantara dan naskah kuno yang terkait menjadi bagian penting dari ingatan kolektif nasional, memperkuat identitas bangsa dan mendorong pelestarian budaya lokal. (PAR/nng).