
Rajapatni.com : SURABAYA – Semangat kerjasama Jatim dan Jepang di bidang kebudayaan memang nyata adanya. Tidak sekedar retorika dan cuap cuap belaka. Aktivitas nyata yang bersifat Cross Cultural telah dijalankan dan tentunya harus terus dipelihara demi kebaikan kedua belah pihak yang mutual (mutual sides).

Kerjasama ini bisa bersifat G to G (Government to Government) dan P to P ( People to People) atau kombinasi antar keduanya. Apapun bentuknya, yang penting wujud kerjasama budaya ini ada dan berjalan. Misalnya, yang sudah dilakukan adalah kerjasama budaya antara Konjen Jepang dengan Komunitas Aksara Jawa, Puri Aksara Rajapatni.

Sebuah Cross Cultural activity mengenai kegiatan penulisan aksara Jawa yang dilakukan dengan cara Kaligrafi Jepang. Yaitu menulis aksara Jawa dengan sarana dan gaya kaligrafi Jepang. Bahkan penulis aksaranya menggunakan busana Jawa (kebaya dan lurik serta blangkon) dan busana Kimono. Secara fisik dapat dilihat dan dirasakan interaksi budaya Jepang dan Jawa.
Dalam kegiatan ini kedua belah pihak ada interaksi saling belajar dan mengejar tentang budaya masing masing ke lawan pihak. Akhirnya terjadi komunikasi budaya untuk saling memahamkan budaya masing masing. Maka terjadilah rasa saling pemahaman (cross Cultural understanding). Dengan saling mengenal, mengetahui dan memahami maka terjadilah rasa saling pengertian antara perbedaan dan bahkan persamaan budaya yang selanjutnya akan terjadi kerjasama di berbagai bidang.
Maka sesungguhnya budaya memiliki peran membangun antar manusia dan antar bangsa.
Karenanya selain terjadi interaksi secara lokal di Surabaya, ada salah satu dari mitra Puri Aksara Rajapatni berkesempatan jalan jalan ke Jepang, yang salah satu tujuannya adalah menelisik fakta penggunaan aksara Jepang di sana.
Jepang bagaikan mangkuk dimana tradisi bertemu dengan teknologi (a bowl where tradition meets technology). Menurut mitra Rajapatni, Harun Sobar, yang beberapa Minggu jalan jalan di Jepang, sarana dan utilitas umum yang berteknologi tinggi (smart) menyertakan aksara lokalnya (Kanji) dalam perangkat digital.
Misalnya sarana toilet umum yang fitur fiturnya menggunakan aksara Kanji. Ada juga semacam vending machine untuk kopi atau teh yang serba smart ternyata menggunakan aksara Jepang. Ini menunjukkan ternyata Jepang sebagai negara maju dan cerdas masih menggunakan literasi tradisional. Jepang menempatkan literasi tradisional di kelas internasional. Jepang sangat menghargai literasi tradisional yang merupakan hasil peradaban tinggi nenek moyangnya.

“Huruf Jepang tak pernah ketinggalan pada setiap kesempatan yang ada. Bahkan dia menjadi leader atas huruf latin”, kata Harus Sobar setelah mengamati penggunaan Aksara Jepang dimana mana.
Jepang benar benar menerapkan istilah dimana bumi (negaranya) dipijak, disitu langit dijunjung. Aksara Jepang menjadi tuan rumah yang baik. Ini semua karena sikap rakyatnya yang bisa dan mau menghargai identitas negaranya.
Sesungguhnya peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” adalah milik bangsa Indonesia yang mengandung makna bahwa seseorang harus menghormati adat istiadat di tempat tinggalnya. Peribahasa ini juga mengandung pesan tersirat, nasihat, atau prinsip hidup masyarakat Indonesia.
Apakah kita sudah menjunjung budaya yang menjadi identitas bangsa seperti halnya Jepang menjunjung aksaranya?
Harun Sobar dimana mana kakinya melangkah, mata tak lepas dari sosok aksara Jepang baik yang ditulis dan dibuat secara manual maupun yang tampil pada utitas utilitas umum secara digital.

Dengan begitu orang awam seperti Harun Sobar harus dipaksa untuk melihat dan kenal aksara Jepang. Dalam beberapa hari saja di Jepang ketika sering mengamati aksara Jepang di utilitas tempat umum baik toilet sampai tempat minum teh dan kopi, akhirnya Harun Sobar bisa belajar Aksara Jepang.
Sebetulnya pendekatan ini sama seperti di Surabaya, yang mana Aksara Jawa digunakan sebagai nama nama kantor pemerintah. Berangkat dari kebiasaan mata melihat aksara Jawa, maka akhirnya bisa membaca. Ini sama dari berangkat dari Kemata (terlihat mata) menjadi Kewaca (terbaca). Selanjutnya Ketata ( bisa menata aksara / menulis), yang pungkasannya bisa Kerasa (bisa merasakan apa yang ditulisnya.
Menurut A Hermas Thony, tokoh penggerak budaya Surabaya yang sekaligus pembina Puri Aksara Rajapatni, itu adalah urutan proses pembelajaran yang empiris mulai dari Kemata (terlihat mata), Kewaca (terbaca), Ketata (bisa menata atau menulis) dan Kerasa (bisa merasakan makna).
“Dari saudara tua kita bisa belajar menghargai peradaban”, pungkas Thony. (PAR/nng)