Rajapatni.com: Surabaya (6/4/24) – Rasa penasaran dan rasa ingin tahu saya tentang hasil produksi ꦩꦠꦈꦮꦁ mata uang yang dibuat di Surabaya terjawab. Mata uang itu beraksara Jawa dan tersebut nama Surapringga yang kini kita kenal Surabaya.
Surabaya pernah memproduksi ꦩꦠꦈꦮꦁ mata uang di era kepemimpinan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811), sebagaimana dikutip dari Oud Soerabaia (GH von Faber).
Kegiatan pembuatan mata uang logam itu pernah diproduksi di sebuah ꦒꦼꦫꦺꦗ gereja di Stad van Soerabaia. Diduga gereja itu adalah gereja Protestan pertama, yang letaknya di bagian dari gedung Internatio di kawasan Jembatan Merah.
Pasca Daendels, berkuasalah Jan Willem Janssens mulai 15 Mei 1811 – 18 September 1811. Seumur jagung. Ia lahir di Nijmegen, Belanda, sebuah kota kuno di dekat perbatasan ꦧꦼꦭꦤ꧀ꦝ Belanda – Jerman. Saya pernah berkunjung dan tinggal di kota itu pada Juli 2023.
Willem Janssens memulai tugas di Hindia Belanda ketika kondisi di Hindia Belanda dalam kondisi genting, dibawah serangan Inggris. Banyak prajurit tinggalan Daendels, yang tidak cakap menjadi ꦥꦿꦗꦸꦫꦶꦠ꧀ prajurit, sehingga ia mudah dikalahkan Inggris dan terpaksa menyerah pada tanggal 18 September 1811 kepada Thomas Stamford Raffles.
Mengawali pemerintahan Inggris di Hindia Belanda (1811-1816), adalah Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto atau Lord Minto, yang berkuasa. Kala itu Surabaya menjadi jejak penting di Hindia Belanda baik sebagai kota pertahanan, maupun sebagai kota ꦥꦼꦂꦣꦒꦔꦤ꧀ perdagangan dan bisnis.
Pentingnya kota ꦯꦸꦫꦨꦪ Surabaya ini ditandai dengan diproduksinya mata uang sejak dari era Gubernur Jendral Daendels. Inggris melanjutkan potensi kota itu. Diantaranya adalah memproduksi mata uang.
Pendudukan Hindia Belanda
Pada tahun 1811, ꦠꦼꦤ꧀ꦠꦫꦧꦿꦶꦠꦤꦶꦪ tentara Britania melancarkan serangan terhadap daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda, termasuk Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Pasukan Britania tidak mengalami kesulitan menghadapi pasukan Belanda. Selain itu, pasukan Belanda juga mendapat serangan dari pasukan raja-raja di Jawa. Serangan itu menyebabkan Belanda akhirnya menyerah kepada Britania.
Oleh sebab itu, secara resmi sejak tahun 1811 Hindia Timur menjadi jajahan Britania Raya dengan kongsi dagang EIC nya yang dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Lord Minto. Lord Minto kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai pemegang kekuasaan atas Pulau Jawa dengan pangkat Wakil Gubernur Jenderal.
Mata Uang Beraksara Jawa
Entah berapa banyak dan pecahan mata uang yang dibuat di masa Pemerintahan Inggris di Surabaya. Salah mata uang itu ꦧꦼꦫꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ beraksara Jawa dan Pegon (Arab gundul). Mata uangnya berupa Dirham.
Menurut literasi Wikipedia bahwa Dirham atau dirhem atau “Dirhm” (درهم) merupakan satuan mata uang pada beberapa negara ꦄꦫꦧ꧀ Arab, juga Tajikistan, dan dulunya, terkait dengan satuan massa (Ottoman dram) pada Kekaisaran Utsmaniyah dan Persia.
Ada ꦣꦸꦮꦄꦏ꧀ꦱꦫ dua aksara di setiap sisi mata uangnya dirham Inggris itu. Dalam tulisan di bagian depan beraksara Jawa, dan diketahui berbunyi:
ꦏꦼꦩ꧀ꦥ꧀ꦤꦶꦲꦶꦁꦭꦶꦱ꧀
ꦪꦱꦲꦶꦁꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ꧉
꧇꧑꧗꧔꧐꧇”꧉
“Kempni Hinglis, jasa ing Surapringga. 1740”.
(Kumpeni Inggris ketika di Surapringga, 1740))
Dibaliknya bertulis huruf Arab Melayu (Pegon) yang berbunyi:
“Hinglis, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar dhazirat Djawa”.
(Pemerintah Inggris pada 1229 H di tanah Jawa)
Pada ꦏꦼꦣꦸꦮꦱꦶꦱꦶ kedua sisi mata uang ini dengan jelas tertulis angka tahun. Pada sisi beraksara Jawa terdapat angka 1740 Tahun Jawa. Sedangkan pada sisi beraksara Pegon terdapat angka tahun 1229 Hijriah. Jika dikonversikan ke tahun Masehi, maka 1740 (Jawa) + 67 tahun menjadi 1808 M. Sedangkan 1229 (Hijriah) + 579 menjadi 1807 M. Jadi mata uang dirham Inggris ini berangka tahun kisaran 1807/1808 M.
Secara formal, Inggris memang belum berkuasa atas Hindia Belanda, namun upaya menduduki Hindia Belanda sudah terlihat, seiring dengan pemekaran Imperium ꦧꦿꦶꦠꦤꦶꦪꦫꦪ Britania Raya.
Mata uang adalah alat dan simbol ꦱꦸꦥꦿꦺꦩꦱꦶꦏꦼꦏꦸꦮꦱꦄꦤ꧀ supremasi kekuasaan. Jika mata uang dirham Inggris sudah ada di Surabaya dan dengan adanya nama Surapringga, maka diduga itu menjadi pertanda kehadiran kekuasaan Inggris di Surabaya. Dia menunjukkan kekuasaannya secara ekonomi.
Terbukti bahwa dua ꦒꦸꦧꦼꦂꦤꦸꦂꦗꦼꦤ꧀ꦝꦿꦭ꧀ Gubernur Jendral Belanda terakhir sebelum Hindia Belanda jatuh ke Inggris sudah mulai ada tanda tanda kemerosotan dan mula bercokolnya Inggris di Jawa. Benar secara resmi Inggris di Jawa antara 1811-1816.
Adalah fakta bahwa di awal abad 19, Aksara Jawa sudah menjadi ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦉꦱ꧀ꦩꦶ Aksara resmi pemerintah Hindia Belanda, siapapun penguasanya. Bisa jadi sebelum Inggris, Aksara Jawa dan juga Pegon, sudah menjadi Aksara tulis yang umum di tanah (dzazirah) Jawa. Misalnya dipakai untuk penulisan buku buku yang sekarang menjadi manuskrip karena usianya yang tua.
Sebagaimana yang pernah ditulis di media ini, bahwa Aksara Jawa sudah dipakai pada sebuah prasasti pembangunan Masjid ꦏꦼꦩꦪꦺꦴꦫꦤ꧀ Kemayoran pada 1848 dan juga pada Gapura Sunan Ampel yang diduga sudah ada pada abad 15 atau 16. Termasuk ditemukan pada makam makam kuno di komplek makam para bupati Surabaya di Sentono Agung Botoputih Pegirian Surabaya.
Dalam koin dirham Inggris yang terbit di Surabaya pada 1740 Jawa (1808 M) dan 1229 H (1807 M) itu tertulis dengan nama Surapringga dalam Aksara Jawa. Koin ini sekaligus mengungkap fakta sejarah bahwa dulu, Surabaya ini bernama ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga dan menggunakan Aksara Nusantara (Jawa dan Pegon).
Meniti jejak sejarah yang ada, maka semakin menguatkan bahwa Aksara Jawa adalah Aksara lokal (Nusantara) yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan orang orang Jawa di Surabaya (nanang)