Perubahan Nama Jalan dari Berbau Belanda Menjadi Indonesia Pernah Kontroversi.

Sejarah:

Rajapatni.com: SURABAYA – Perubahan nama-nama jalan di Surabaya dari yang berbau asing Belanda menjadi nasional Indonesia pada Maret 1950, sempat kontroversial. Demikian diberitakan olah koran “Nieuwe Courant”, yang dimuat dalam laman digital www.delpher.nl.

Bisa dibayangkan bagaimana kontroversi itu terjadi akibat perubahan nama-nama jalan se Surabaya. Saat itu, Maret 1950, hanya 3 bulan setelah Indonesia mendapat pengakuan akan kedaulatan bangsa dari Pemerintah kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. Surabaya menasionalisasi nama-nama jalan.

Keluarga Van der Linden saat belum meninggalkan Surabaya. Foto: case

Tahun 1950 di Surabaya tentu masih ada warga Eropa Belanda. Belum semuanya ke Belanda. Salah satunya adalah keluarga Van der Linden. Sebelum kembali ke Belanda Van der Linden bersama keluarga pada tahun 1954, Van der Linden pernah menjabat sebagai ahli hukum Pemerintah Kotamadya Surabaya dengan wali kota Surabaya, Mustajab.

Orang tua Case Van der Linden yang pernah menjabat sebagai Penasehat hukum pemerintah kota Surabaya di era walikota Moestajab. Foto: case

 

Kontroversi Serupa

Pernah ada pengalaman serupa di Surabaya mengenai perubahan jalan Gunungsari menjadi jalan Prabu Siliwangi dan jalan Dinoyo menjadi jalan Pajajaran pada tahun 2019. Rencana itu mendapat protes dari kalangan pemerhati sejarah karena perubahan itu bisa berdampak pada identitas lokal Surabaya.

Jalan Gunungsari adalah palagan bersejarah bagi Surabaya karena menjadi Medan pertempuran Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) ketika mempertahankan Surabaya dari desakan Sekutu di akhir bulan November 1945.

Sementara jalan Dinoyo adalah simbol local Wisdom, nama asli, Surabaya. Penggantian nama jalan Dinoyo menjadi jalan Pajajaran akan mengurangi sejarah Dinoyo, Surabaya. Di kawasan itu ada nama kampung Dinoyo Tangsi dan Alun Alun Dinoyo.

Belum lagi ketidaksetujuan warga baik di Gunungsari dan di Dinoyo, yang sangat keberatan dengan rencana perubahan nama jalan. Alasannya adalah menyangkut urusan urusan administrasi, kependudukan dan usaha dagang.

Alasan alasan serupa lah, yang menjadikan warga kota Surabaya di era walikota Doel Arnowo tahun 1950 tidak setuju dan menjadi kontroversial.

Walikota Surabaya Doel Arnowo bersama Cokro Pranolo dalam proses perubahan nama nama jalan di Surabaya tahun 1950.. Foto: delpher

Tetapi walikota Doel Arnowo berani demi nasionalisme. Memang ramai tapi hanya sebentar. Tetapi setelah 50 tahun, kita merasakan kekayaan Indonesia yang terpotret di Surabaya melalui nama nama jalan. Diantaranya ada klaster nama nama gunung, burung, pahlawan nasional, candi, sungai, pulau, kota, dan rempah rempah serta bunga.

 

Walikota Surabaya WANI.

Jika walikota Doel Arnowo tidak berani melakukan pergantian nama jalan pada bulan Maret 1950, mungkin hingga sekarang nama nama jalan di Surabaya masih berbau kolonial. Itu sangat kontroversial dengan predikat Surabaya sebagai kota pahlawan.

Nama lama dan baru.Foto: dekpher

Maka dengan perubahan nama nama jalan dari yang berbau kolonial Belanda ke Nasional Indonesia, kita turut menjaga dan merawat memori kolektif bangsa. Nama nama jalan adalah bentuk pendokumentasian. Melalui pendokumentasian kita turut menjaga memori kolektif.

Hal serupa bisa jadi walikota Surabaya sekarang, Eri Cahyadi ikut mendokumentasikan Aksara Jawa sebagai aksara Nusantara. Penulisan aksara Jawa pada papan nama jalan tidaklah merubah nama jalan. Tetapi menambahkan saja sehingga Surabaya turut mendokumentasikan dan melestarikan objek budaya, aksara jawa.

Tentu walikota Eri Cahyadi bisa seberani walikota Doel Arnowo dalam pendokumentasian kekayaan Nusantara melalui nama-nama jalan. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *