Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Perayaan Diwali atau Festival Cahaya di Spins International School Surabaya berjalan meriah pada Minggu malam (19/10/25). Diwali adalah perayaan tahunan umat Hindu yang bisa digelar baik di rumah, kuil, dan bahkan di sekolah seperti, yang diselenggarakan oleh masyarakat India di Surabaya. Penyelenggaraan itu dimotori oleh Kantor Konsulat Kehormatan India di Surabaya.
Manoj Bhat, Konsul Kehormatan India, mengawali acara itu dengan mengatakan bahwa perayaan ini melambangkan kemenangan Kebaikan atas Keburukan. Kemenangan dilambangkan dengan cahaya terang. Ia pun mengajak undangan dan hadirin untuk menyalakan lilin sebagai simbol penerang dan kemenangan.
Terlihat hadirin dalam acara itu diantaranya adalah Walikota Solo Respati Achmad Ardianto, Kepala Dinas Budporapar Kota Surabaya Hidayat Syah, Wakil Bupati Nganjuk Trihandy Cahyo Saputro, Konsul Kehormatan Filipina di Surabaya Eddy Surohadi, Konsul Taiwan (TETO) Isaac Chu, Perwakilan Diknas Propinsi Jatim dan Perwakilan Diknas Kota Surabaya.
Mereka bersama sama ikut menyalakan lilin, yang berada di depan panggung yang selanjutnya diikuti oleh setiap undangan di meja masing masing. Penyalaan berlangsung khidmat.

Kemenangan kebaikan atas keburukan itu diilustrasikan dalam pementasan cerita Ramayana, yang dipersembahkan di atas panggung oleh siswa siswi Spins International School mulai usia dini hingga remaja. Dalam pementasan itu, ada proses edukasi sejarah dan budaya. Ada nilai yang bisa dipetik oleh siswa siswi.

Cerita Ramayana sebetulnya dalam budaya Nusantara juga tidak asing. Ada cerita Ramayana dalam pewayangan Jawa. Siapapun pemain, yang terlibat dalam pementasan itu, bisa mempelajari nilai nilai dalam kisah yang mengetengahkan Rama dan Shinta. Cerita itu mengisahkan perjuangan Rama, seorang pangeran dari Ayodhya, untuk menyelamatkan istrinya, Sinta, yang diculik oleh Rahwana, raja Alengka.
Kisah ini adalah tentang kemenangan Dewa Rama (kebaikan) atas Rahwana (kejahatan), yang merupakan inti dari epos tersebut. Kemenangan ini menunjukkan bahwa meskipun kejahatan tampak kuat, tapi pada akhirnya kebaikanlah yang akan menang, seiring dengan usaha dan pengabdian yang tulus.
Kemenangan itu disimbolkan dengan penerangan dari lilin lilin sebagai lentera. Perayaan ini memang menjadi momen di mana keluarga, para sahabat dan handai tolan serta relasi berkumpul dan berbagi kebahagiaan. Hal ini sebagaimana terlihat dalam momen perayaan Diwali oleh kantor konsulat Kehormatan India di Surabaya di Spins International School pada Minggu malam (19/10/25).

Perayaan ini memang berasal dari India, tetapi kini juga dirayakan komunitas India di seluruh dunia, termasuk di Surabaya. Ratusan masyarakat India di Surabaya dan sekitarnya hadir dalam perayaan itu. Meriah.

Diwali adalah sebuah festival budaya. Sehingga busana khas India menjadi dress code kultural malam itu, misalnya Sari untuk hadirin wanita dan Kurta untuk hadirin Pria. Semua undangan dari etnis India berbusana khas India Sari dan Kurta. Sementara undangan dari warga lokal berbusana umum yakni Batik. Kecuali undangan yang mewakili komunitas budaya, Puri Aksara Rajapatni, mengusung tema budaya Jawa, dengan busana kebaya dan bersanggul untuk wanita dan lurik berblangkon untuk pria.

Busana Jawa dan India ini menjadi perpaduan indah pada malam itu dan menarik perhatian undangan. Ada seorang pemuda India, yang bertanya apakah hiasan kepala pada pria Jawa yang dikenakan oleh wakil Rajapatni dari Jogja atau Solo.
“Ini dari Jogja atau Solo?”, tanya seorang pemuda Surabaya berdarah India.
“Oh, Jogja atau Solo bisa dilihat dari blangkon ini. Blangkon Jogja memiliki mondolan (tonjolan) di belakang. Sedangkan, blangkon Solo tidak memiliki mondolan, melainkan bagian belakangnya datar”, jawab undangan yang mewakili Puri Aksara Rajapatni.
Kesempatan ini juga digunakan oleh wakil Rajapatni lainnya, Ita Surojoyo selaku pendiri komunitas Puri Aksara Rajapatni, ketika mengenalkan aksara Jawa kepada anak anak berdarah India. Pun ketika tim Rajapatni bercengkrama dengan undangan lainnya di suasana perjamuan makan malam outdoor.
Silaturahmi itu menjadi ajang saling memperkenalkan diri dan budaya. Sepasang suami istri, yang sudah lebih 50 tahun tinggal di Surabaya, dengan bangga mengatakan: “Aku iso ngomong Jowo, lho” (saya bisa bicara Jawa, lho). (PAR/nng).
