
Rajapatni.com: SURABAYA – Setidaknya Literasi, Charity dan History adalah nilai plus di balik kegiatan Sinau Aksara Jawa. Kegiatan Sinau Aksara Jawa ini digelar oleh komunitas Aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni. Dalam satu paket (setiap gelombang) terdiri dari 5 kali pertemuan dan pada pertemuan ke 5 (terakhir), para pembelajar diajak untuk ber charity dan mengenal sejarah, khususnya sejarah pernah digunakannya aksara Jawa di Surabaya.

Pada pertemuan terakhir itu, mereka diajak ke kawasan Kota Lama Surabaya. Pertama beraksi sosial dengan memberikan banner kepada warga setempat Desi, yang membuka stand pernak pernik Kota Lama Surabaya. Stand yang bernama Gyani’s House ini bertempat di rumahnya, yang beralamat di Jalan Krembangan Timur 32 Surabaya.
Adapun banner itu bertuliskan aksara Jawa dan merupakan hasil desain para pembelajar yang dikerjakan secara berkelompok.
“Kami mendesain sendiri dan urunan untuk Beaya mencetak banner”, ujar Imanuel, salah seorang pembelajar.
Sementara itu menurut Asyikul Hasan, salah satu pengajar aksara Jawa bahwa aksi sosial ini menjadi wujud kepedulian para pembelajar terhadap apa yang sudah mereka pelajari dan agar dapat berlanjut kepada publik.
“Dengan digunakannya aksara Jawa pada banner, aksara Jawa bisa hadir di tengah tengah publik”, ujar Cikul, panggilan Asyikul Hasan, yang masih berstatus mahasiswa Bahasa Jawa di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Sementara itu Desi dan suami, Jaini, berterima kasih atas kunjungan pembelajar Aksara Jawa dan sekaligus membuatkan banner beraksara Jawa untuk nama standnya, Gyani’s House dan berikut jenis pernak pernik yang diproduksinya. Di antaranya adalah kaus, gantungan kunci, stiker serta camilan dan minuman ringan.

“Produk kami yang baru adalah goodybag yang bergambar bangunan kolonial di kota lama dengan tulisan aksara Jawa”, ujar Desi sambil menunjukkan proses pencetakan pada goodybag.

Aktivitas ini langsung mendapat perhatian para pembelajar. Setelah itu mereka membantu memasang banner, yang ditempelkan pada tembok pagar rumah. Banner beraksara Jawa ini berukuran 2 meter X 1,5 meter dan membuat mudah dilihat dari jalan Krembangan Timur.
Belajar Sejarah
Setelah memasang banner, para pembelajar Aksara Jawa ini mendapat pencerahan tentang sejarah Kota Lama Surabaya dan khususnya pernah digunakannya aksara Jawa di kawasan yang selanjutnya diduduki oleh bangsa Eropa.
Di kawasan Kota Lama, khususnya di zona Eropa, Melayu dan Ampel Denta, adalah tempat dimana masyarakat nya pernah menggunakan aksara Jawa sebelum bangsa Eropa masuk di abad 17. Buktinya adalah di blandar kayu garupa Sunan Ampel terdapat inskripsi aksara Jawa. Fakta itu didukung oleh peta litografi yang menggambarkan kawasan
Eropa pada tahun 1750-an dimana terdapat keterangan Kampung Jawa dan Kampung van Sumenep (Madura). Secara lisan mereka bicara menggunakan bahasa Jawa (orang Jawa) dan bahasa Madura (orang Madura). Tetapi secara tulis, mereka menggunakan aksara Jawa.
Itulah sejarah di kawasan kota Lama Surabaya, khususnya di zona Eropa. Karenanya di sana dibuat banner banner beraksara Jawa untuk para pedagang yang masih berdiam di perkampungan di sana. Ada warga etnis Jawa dan Madura.
Penggunaan aksara Jawa pada banner lapak lapak dagangan ini sekaligus sebagai media edukasi dan informasi.
Pada Sabtu sore itu (15 Februari 2025), para pembelajar juga diajak jalan jalan di perkampungan kuno di mana warga setempat masih berdiam di sana. Yaitu di jalan Mliwis dan jalan Gelatik. Di jalan jalan ini, sebagai penopang jalan utama kota lama, jalan Rajawali dan jalan jabatan Merah, para pembelajar Aksara Jawa menyaksikan dua bentuk aksara. Yaitu aksara Jawa dan aksara Latin, yang masih menjadi nama nama entitas bangunan kolonial. Misalnya pabrik Limoen, JC van Dronggelen and Helfach.

Dari jalan Mliwis, para pembelajar Aksara Jawa juga menyisir jalan Jembatan Merah dan Jalan Rajawali yang menjadi wajah Kota Kolonial Surabaya.

Dalam jelajah sejarah itu mereka juga belajar tentang riwayat Jembatan Merah.
“Mengapa disebut merah?”, tanya Immanuel.
Jembatan Merah, yang menghubungkan kawasan Pecinan di Timur sungai dan Eropa di Barat sungai, awalnya dicat berwarna merah ketika semua bangunan di sekitarnya berwarna monokrom (hitam, abu abu dan putih).
“Warna merah itu (merah) menjadi perhatian mata dan sekaligus sebagai penanda kawasan itu, pusat pemerintahan dan administrasi Surabaya”, jelas Nanang, pemandu acara yang sekaligus Ketua Puri Aksara Rajapatni.
Warna merah juga ikut menandai peristiwa bersejarah di tahun 1945, yang mengkonotasikan darah para pejuang Surabaya tat kala menghadapi tentara Sekutu.

Jejak sebuah kota Eropa ditandai dengan digunakannya kembali nama Willemplein, Taman Raja Willem, yang sekarang dikenal dengan nama Taman Sejarah. Dari Taman itu mereka diajak mengenali sederetan bangunan megah di jalan Rajawali, yang menjadi bukti perkembangan kota Surabaya pada pertengahan abad 19 tatkala Surabaya semakin berkembang sebagai kota administrasi.

Perjalanan jejak sejarah peradaban kota Surabaya berakhir di sebuah bangunan bergaya indis di pojokan jalan Rajawali dan Branjangan. Ini adalah satu satunya gedung dari abad 19 yang masih berdiri. Dulunya dikenal sebagai Apotik Surabaya sebagai pendukung Rumah Sakit Militer di jalan Rajawali, yang kemudian pindah ke Simpang.

Itulah kemasan Sinau Aksara Jawa, yang ternyata tidak hanya soal Literasi, tetapi juga Charity dan History.

Berikut kesan dan pesan Imanuel mewakili kelompok belajar Sinau Aksara Jawa gelombang ke 6.
“Aksara Jawa pada banner ini memberikan kebanggaan tersendiri. Sebagai bagian dari warisan budaya, aksara Jawa bukan hanya sekadar tulisan, tetapi juga cerminan identitas dan sejarah yang harus terus dilestarikan.
Experience kami keliling-keliling Kota Lama Surabaya seperti mengulang kembali jejak sejarah dengan bangunan-bangunan tua yang masih kokoh, suasana klasik yang unik.
Terimakasih untuk pak Nanang @nanangpurwono9 /mbak ita @Ita Surojoyo ꦆꦠꦯꦸꦫꦗꦪ, yang sudah memberikan kami ilmu/experience terhadap aksara jawa. Kami bangga terhadap aksara Jawa🙏🙏”. (PAR/nng).