Mengawasi Kawasan Cagar Budaya. 

Cagar Budaya:

Rajapatni.com: SURABAYA – Terhadap hilangnya atau dibongkarnya sebuah bangunan di kawasan Cagar Budaya di jalan Raya Darmo 30 Surabaya telah menimbulkan perdebatan. Bahwa bangunan di dalam kawasan Cagar Budaya boleh dibongkar ketika bangunan itu secara individu tidak ada penetapan sebagai Bangunan Cagar Budaya. Demikian kata sumber dari Disbudporapar Kota Surabaya per telepon pada Kamis malam (29/5/25).

Sementara dari sumber lain mengatakan bahwa bangunan bangunan yang ada dalam kawasan Cagar Budaya harus dilindungi. Sumber itu merujuk pada Perda No 1 tahun 2024 tentang Pelestarian dan Pengolaan Cagar Budaya, tepatnya Pasal 5 ayat 2 huruf i : pemerintah daerah punya wewenang mengelola kawasan cagar budaya.

Dibrongsong pagar seng, tampak jelas dari jalan Darmo. Foto: nanang

Sementara Kawasan Cagar Budaya adalah wilayah yang memiliki dua atau lebih situs cagar budaya yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Sedangkan Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang mengandung Benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya.

Di kawasan Cagar budaya Darmo misalnya terdapat bangunan yang telah tertempel plakard Bangunan Cagar Budaya. Selain itu juga ada bangunan yang tidak tertempel plakard Cagar Budaya. Apakah ini berarti, bangunan yang tidak tertempel plakard Cagar budaya boleh dibongkar meskipun letaknya di kawasan Cagar Budaya.

Sementara secara fisik bangunan ini masih menyisakan sebagai bangunan kolonial (tampak bentuk atap dari citra google earth). Tampak dari citra satelit bangunan ini memiliki garis sempadan dengan bangunan lain si kiri kanannya. Tapi karena pernah ditambah bangunan baru, yang akhirnya menutupi bangunan lama, apakah lantas bangunan yang ada di sana boleh dibongkar hingga hilang? Ini menjadi perdebatan pro dan kontra.

Secara umum, Kawasan Cagar Budaya dan Situs Cagar Budaya adalah bagian dari upaya melestarikan warisan budaya. Kedua konsep ini penting untuk menjaga dan melindungi benda, bangunan, dan struktur bersejarah yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Situs atau Kawasan Cagar Budaya Darmo memiliki ciri khas arsitektur kolonial Belanda Modern. Kawasan ini merupakan aset penting bagi kota surabaya, karena keberadaanya sebagai perumahan elit kaum eropa surabaya dan arsitekturnya arsitektur kolonial Belanda pada masa kejayaanya di paruh pertama abad 20 sehingga sangat perlu dijaga kelestariannya untuk tujuan tujuan ilmu pengetahuan, pendidikan, penelitian, Kebudayaan dan pariwisata. Apalagi setelah pembongkaran lantas didirikan bangunan yang desain arsitektur nya tidak serasi dengan lingkungan.

Oleh karena itu Pasal 5 ayat 2 huruf i mengamanatkan pemerintah daerah punya wewenang mengelola kawasan cagar budaya. Ketika sudah berbunyi mengelola kawasan Cagar budaya berarti mengelola bangunan, struktur dan benda yang ada di kawasan Cagar budaya itu.

Disini terlihat pentingnya sebuah badan untuk mengelola kawasan cagar budaya, yaitu Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya seperti halnya yang sudah ada di Semarang dan Jakarta.

Contoh nyata bagaimana pemerintah daerah kota Surabaya mengelola kawasan Tunjungan. Yaitu mengelola kawasan Tunjungan. Di kawasan itu tidak semua bangunan berlabel Bangunan Cagar budaya kecuali Hotel Majapahit, gedung Loge Geboew, gedung bekas pemancar Domei dan lain lain. Sementara bangunan yang tidak ber plakard BCB jumlahnya lebih banyak. Kawasan ini sempat menjadi pengawasan ketat tatkala akan dikembangkan menjadi Tunjungan Vaganza.

Apakah berbeda antara kawasan Cagar Budaya Tunjungan dan Darmo?

Kawasan Cagar Budaya merupakan satuan ruang geografis yang memiliki karakteristik khusus karena keberadaan beberapa situs cagar budaya di dalamnya. Ciri tata ruang yang khas ini bisa berupa pola pemukiman, jalan, atau susunan bangunan yang mencerminkan warisan budaya suatu wilayah.

Persil di jalan Darmo 30 sudah hilang, sekarang yang perlu diawasi adalah bagaimana desain bangunan yang akan didirikan di kawasan itu. Jangan sampai bangunannya tidak serasi dengan lingkungan cagar budaya yang umumnya berarsitektur kolonial. (PAR/nng)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *