Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – Umumnya manuskrip ditulis dalam aksara daerah (Nusantara). Contohnya beberapa manuskrip yang didisplay di Museum Pendidikan Surabaya. Ada aksara Pegon dan aksara Jawa. Lebih banyak lagi adalah manuskrip asal keraton Yogyakarta yang ada di The British Library, London. Juga 160 manuskrip yang dikoleksi oleh Lulut Eko Santosa, warga Malang. Sejumlah manuskrip lainnya adalah koleksi Erwin Dian Rosyidi (buku kuno).
Untuk bisa mengetahui isinya, setidaknya seseorang harus bisa membaca.
“Bagaimana bisa membaca jika tidak mengerti aksara yang dipakai.” Ujar A. Hermas Thony, inisiator Raperda Pemajuan Kebudayaan Kota Surabaya.
Aksara itu adalah aksara daerah (Nusantara), yaitu sistem tulisan atau huruf yang digunakan di berbagai wilayah di Indonesia, yang mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah masing-masing daerah.
Aksara-aksara ini memiliki peran penting sebagai media komunikasi tulis dan ekspresi budaya, serta menjadi bagian dari warisan dan identitas masyarakat setempat. Secara umum adalah identitas bangsa Indonesia. Aksara daerah meliputi aksara Jawa, aksara Pegon, aksara Bali, Aksara Sunda, Aksara Lontara dan lainnya.
Di setiap daerah, yang memiliki manuscript dengan aksaranya masing masing, harus mengerti aksaranya untuk bisa membaca dan mengerti isinya. Karenanya seseorang harus berkemampuan dalam aksara tersebut. Untuk memiliki kemampuan, siapapun harus belajar (membaca dan menulis) alias Calis.
Karenanya, paham dan berkemampuan dalam aksara daerah sangat penting untuk bisa membaca manuskrip sebagai upaya dalam memajukan aksara daerah. Apalagi Manuskrip adalah salah satu dari 10 Object Pemajuan Kebudayaan yang harus dimajukan sesuai dengan Undang Undang 5/2017.
Karena kemampuan Aksara Daerah itu berdampak pada pemajuan Manuskrip maka Aksara perlu juga dimajukan sebagai objek kebudayaan. Memajukan Manuskrip yang beraksara daerah adalah memajukan aksara daerah.
“Membaca adalah tulang punggung ilmu”. Ungkapan “membaca adalah tulang punggung ilmu” berarti membaca adalah fondasi atau pilar utama dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Ini menekankan pentingnya membaca sebagai cara untuk memperoleh dan memperluas pengetahuan.
Pun demikian dengan membaca manuskrip, yang isinya mengandung berbagai informasi tentang kehidupan masa lampau, termasuk aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Naskah-naskah ini dapat berisi kisah-kisah sejarah, tradisi, aturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, pengobatan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Atas dasar itulah, manuskrip masuk dalam 10 objek pemajuan kebudayaan (OPK). Karena pemahaman terhadap isi manuskrip tergantung pada kemampuan seseorang bisa atau tidak bisa membaca manuskrip, maka pemahaman aksara menjadi penting karena sebagai tulang punggung.
“Jangan pernah mimpi bisa memajukan manuskrip dan ilmu pengetahuan tradisional, kalau tidak tau aksara yg dipakai dalam penulisannya, tidak bisa membaca tulisannya, dan tidak mengetahui arti dan maknanya”, jelas A. Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya periode 2019-2024 yang sekaligus inisiator Perda Pemajuan Kebudayaan Kota Surabaya. (PAR/nng)