Dewi Kwan Im, Dewi Welas Asih Menjadi Perlambang Sìshuǐ (Surabaya).

Sejarah: 泗水 Sìshuǐ, Bingkai Budaya Tionghoa Surabaya.

Rajapatni.com: SURABAYA – Bermula dari rasa penasaran dengan mengapa kota Surabaya disebut 泗水 Sìshuǐ dalam bahasa Mandarin.

Didapati bahwa secara harfiah, menurut Dosen Sastra Mandarin Herwiratno, 泗水 Sìshuǐ berarti Empat Air. 泗 Si (empat). 水 Shuǐ (air). Selanjutnya, Air dikonotasikan dengan sungai.

Dari diskusi bersamanya (Herwiratno) pada 2023 lalu, lantas muncul pertanyaan dimanakah di Surabaya ada kawasan, yang memiliki empat air atau kawasan yang dikelilingi oleh empat sungai.

Setelah membuka peta peta lama ternyata diketahui bahwa kawasan di kota Surabaya, yang pernah dikelilingi oleh empat air (sungai) adalah kawasan Pecinan Surabaya atau dikenal Kampung Pecinan.

Kampung Pecinan ini pernah dikelilingi oleh empat sungai. Di Barat adalah Kalimas, di Timur ada Kali Pegirian, di Utara pernah ada kali kecil yang sekarang menjadi jalan Kalimati Wetan – Kalimati Kulon – Kali Malang, dan sungai kecil lainnya di Selatan yang kini menjadi Jalan Waspada. Dua sungai kecil ini menghubungkan Kalimas dan Pegirian. Itulah kawasan yang dikelilingi empat air (sungai). Itulah kawasan permukiman warga Tionghoa yang bernama 泗水 Sìshuǐ.

Fakta alami ini dikuatkan dengan keberadaan tempat ibadah, yang bernama 泗水庙 Sìshuǐ Bio, Klenteng Sìshuǐ atau Klenteng Surabaya, karena 泗水 Sìshuǐ sama dengan Surabaya dalam bahasa Mandarin.

Nama Sìshuǐ muncul dalam entry kamus. Dalam Kamus bahasa Hokkien (Taiwan) – Jepang (臺日大辭典), terbitan tahun 1931-1932, terdapat entri 泗水 (Su-sui), yang dijelaskan sebagai “Surabaya, nama sebuah tempat di Jawa”.)
Nama Sìshuǐ dalam lingkaran. Foto: ist

Sìshuǐ Bio (Klenteng Surabaya) ini awalnya adalah sebuah tempat peristirahatan awak kapal yang datang dari Tiongkok dan sebelum kembali ke negara asalnya, mereka menginap di tempat peristirahatan ini. Sambil menunggu musim angin yang bisa mendorong kapal mereka ke Utara, China.

Di kawasan tua Surabaya, yang identik dengan masyarakat Tionghoa, adalah Pecinan Surabaya dan di tempat ini memang ada tempat ibadah, yang sekarang bernama Hok An Kiong di jalan Coklat.

Apalagi di klenteng ini terdapat dua tiang kapal sebagai tanda pelaut yang berdiri di depan Klenteng. Tanda lainnya yang menjadi jejak imigran China adalah di dalam Klenteng terdapat rupang Dewa Mak Co Po dan Dewi Kwan Im, Dewi Welas Asih.

Dewi Kwan Im Welas Asih ini menjadi Object penghormatan atas perlindungan kepada para pelaut, yang akhirnya bisa sampai Pulau Jawa dengan selamat, tepatnya Surabaya. Surabaya menurut para imigran adalah tempat dimana mereka mendarat dan beristirahat Yaitu di kawasan Pecinan sekarang. Mereka menyebutnya 泗水 Sìshuǐ

Kwan Im adalah Bodhisattva Welas Asih, yang melambangkan kasih sayang dan penyayang dalam ajaran Buddha. Kwan Im juga dikenal sebagai Avalokitesvara. Ciri khas Kwan Im adalah Kwan Im selalu membawa botol Amertha atau wadah suci, yang berisi Embun Welas Asih.

Klenteng Hok An Kiong seperti yang bisa kita lihat sekarang adalah hasil pendirian pada tahun 1830-an. Tetapi ketika dibuat sebagai tempat peristirahatan para pelaut, yang bentuknya tidak seperti bangunan 1830-an, di tempat ini tidak seperti sekarang, tapi sudah ada rupang yang dibawa para pelaut dari Tiongkok. Di tempat peristirahatan itulah, para pelaut menghormati Dewi Kwan Im dan Dewa Mak Co Po.

Dewa Ma Co Po dikenal menguasai 7 Samudera dan menjadi Dewa dalam wujud patung dewa, yang sangat dihormati di klenteng ini.

 

Kisah Datangnya Imigran Tionghoa.

Cerita datangnya imigran China ini bermula dari periode akhir Dinasti Ming, ketika The Seng Kong (Zheng Chenggong) dan anaknya The Keng (Zheng Jing) yang merupakan loyalis Dinasti Ming, sedang berperang dengan bangsa Manchu.

Akibat dari perang itu adalah kekacauan dan kehancuran cukup besar bagi kawasan Fujian Selatan. Dari tahun 1646 – 1680 banyak warga asal Chiangchiu (Zhangzhou) mengungsi ke Pulau Jawa. Mereka yang sampai di pesisir Jawa Timur membawa serta rupang dewa pelindung mereka. Yaitu 泗洲佛 (Su-ciu-hut / Sizhoufu) dan Kwan Im (dengan rupa pria), lalu membangun kuil sebagai bentuk rasa syukur/penghormatan, karena dalam perjalanannya mereka dilindungi dari serangan hewan buas, terutama buaya dan ikan hiu.

Kuil itu dijuluki 海神男相观音泗洲佛 (terjemahannya kira-kira: Kuil Dewa Laut Su-ciu-hut dan Kwan Im), lalu disingkat jadi 泗水庙 (Su-sui-bio/Kuil Su-sui).

Merujuk pada nama tempat ibadah tersebut, lama kelamaan kawasan pesisir itu dinamakan Su-sui (Mandarin: Si-shui), yang mana menjadi nama Tionghoa untuk Surabaya kini.

 

Dewi Kwan Im Kenjeran

Patung Dewi Kwan Im di Kenjeran ini dibangun mulai 2001. Pembangunannya untuk melengkapi

Sanggar Agung yang dibangun mulai tahun 1999 sebagai tempat ibadah Tri Dharma. Kelenteng Sanggar Agung juga dikenal dengan nama Kelenteng Hong San Tang.

Di sisi kanan dan kiri Patung Dewi Kwan Im ada dua patung pengawal, yakni Patung Shan Nan dan Tong Nu. Serta ada empat maharaja langit pelindung empat penjuru dunia

Kelenteng Sanggar Agung ini akhirnya memiliki ciri khas, yakni Patung Dewi Kwan Im setinggi 20 meter yang berada di tepi laut. Tempat ibadah ini berada di Pantai Kenjeran.

Di sisi kanan dan kiri Patung Dewi Kwan Im berdiri dua patung pengawal, yakni Patung Shan Nan dan Tong Nu. Serta ada empat maharaja langit pelindung empat penjuru dunia. (detikjatim).

Dewi Kwan Im, Dewi Welas Asih, menjadi penanda 泗水 Sìshuǐ, Surabaya dalam bahasa Mandarin. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *