Dahlan Iskan: “Saya Harus Bisa Sambutan Menggunakan Bahasa Jawa. Saya Orang Jawa”.

Dahlan Iskan dalam sebuah sarasehan budaya Jawa di Pacet pada 6 September 2024. Foto: disway

Rajapatni.com: SURABAYA – Dahlan Iskan, maestro media. Kini tulisannya mengisi Disway.id, Harian Disway, yang juga diunggah di akun Facebook Disway. 

Ceritanya beragam dan ada saja ! Gaya tulisannya ringan tapi mengalir deras dan menghanyutkan. Mengikuti tulisannya seperti mendengarkan langsung tatkala berbicara dengannya. Ya, saya (penulis) pernah menjadi anak buahnya saat berada di Jawa Pos. Gayanya santai tapi berbobot.

Salah satu tulisan Dahlah Iskan adalah tentang Budaya Jawa. Budaya Jawa ini ditulisnya setelah Dahlan menghadiri sebuah  sarasehan yang bertemakan: “perilaku kerohanian budaya Jawa” di sebuah padepokan yang bernama Bimasakti di Pacet pada 6 September 2024, empat bulan lalu.

Waktunya sudah lama tapi pesannya masih relevan dengan waktu sekarang dan mendatang. 

Dahlan Iskan menulis bahwa dirinya salah kostum pada saat menghadiri acara sarasehan yang diadakan pada Jumat malam, 6 September 2024. Malam itu, setelah jam 6 sore, sudah terhitung masuk Sabtu Pahing dalam hitungan kalender Jawa. Menurut hitungan budaya Jawa, Sabtu itu Sembilan. Pahing juga sembilan.

Berarti malam itu malam termahal. Menurut hitungan Jawa: serba sembilan. Lalu, 9 + 9 = 18. Satu Delapan. Kalau dua angka itu ditambahkan jadinya juga sembilan. Total 9 + 9 + 9 = 27. Dua dan Tujuh = 9. Semua serba 9. 

“Harusnya saya hadir dengan pakaian adat Jawa. Agenda sarasehannya: perilaku kerohanian budaya Jawa”, kata Dahlan dalam tulisannya.

“Saya jadi aneh di tengah ratusan orang yang semua berpakaian adat Jawa: bawahan celana longgar warna hitam, baju lurik dan kepala berblankon. Banyak juga yang pakai bawahan kain sebagai pengganti celana. Tapi saya pakai kaus. Lengan panjang. Warna kunyit. Dengan celana olahraga. Tanpa blangkon pula”, tambahnya.

Dahlan Iskan salah kostum ketika datang ke sarasehan. Ia mengaku bahwa Ia tidak sempat pulang ke Surabaya setelah dari Malang. Ia langsung ke padepokan itu. Di Pacet, Mojokerto. Di lereng Gunung Arjuno dan Gunung Penanggungan. Dingin. Angin malam menurunkan suhu menjadi 19 derajat Celsius.

Untungnya tuan rumah, pemilik Padepokan Bimasakti, Ibnu Sutanto, mengambil blangkon cadangan. Warna merah. Blangkon gaya Yogyakarta. Bukan gaya Raja Jawa dari Solo. Meski masih tetap berkaus tapi Dahlan sudah terlihat lebih Jawa.

Padepokan Bimasakti dengan agenda agenda budaya yang diadakan adalah upaya dalam  melestarikan budaya nusantara untuk tetap mempertahankan tradisi leluhur.

“Dengan blangkon merah itu saya merasa agak pantas untuk memberi sambutan dalam bahasa Jawa. Mungkin ini pidato bahasa Jawa saya yang pertama selama 25 tahun terakhir”, terang Dahlan.

Dahlan mengaku bahwa memberi sambutan dalam bahasa Jawa tidak mudah.

“Rasanya lebih mudah kalau malam itu saya diminta bicara dalam bahasa Mandarin. Tapi harus bisa. Saya orang Jawa”, tanggap Dahlan.

Sebelumnya, sekitar 25 tahun lalu, Dahlan Iskan juga pernah memberikan sambutan dalam bahasa Jawa saat media Bahasa Jawa, Joyoboyo, yang dikelolanya punya hajatan dan mengundang Harmoko dalam acara Tumpengan.

Dahlan mengaku bahwa sambutan dalam bahasa Jawanya lancar.

“Saya pun memulai acara dengan sambutan dalam bahasa Jawa. Rahayu. Lancar”, aku Dahlan.

Dahlan Iskan mengapresiasi pemilik Padepokan Bimasakti, Ibnu Sutanto, yang sudi membeli dan membangun padepokan Jawa seluas dan sebagus ini. Disana ada panti asuhan yatim piatu. Ada masjid Jawa-nya pula. Ada air dari 17 sumber air dari gunung Arjuno dan Penanggungan. Itu semua demi melestarikan budaya Jawa. Termasuk kegiatan sarasehan yang sering diadakan di tempat itu 

Sebagai orang Jawa, Dalan pun memboyong konsep rumah gamelan di halaman rumahnya di Perum Sakura Regency, Surabaya. (PAR/nng).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *