Cross Cultural Understanding di ꦏꦼꦭꦱ꧀ Kelas Sinau Aksara Jawa. 

Rajapatni.com: Surabaya (1/4/24) – Surabaya adalah rumah bersama. Kota ini sudah menjadi melting pot, mangkuk tempat meleburnya berbagai jenis makanan. Jika jenis kuliner, Surabaya adalah gado gado, dimana ada lontong, tahu, ꦩꦼꦤ꧀ꦠꦶꦩꦸꦤ꧀ mentimun, kentang, kecambah, kubis, selada, kerupuk, emping dan bumbu.

Itulah Surabaya, yang juga disebut sebagai kota ꦩꦸꦭ꧀ꦠꦶꦏꦸꦭ꧀ꦠꦸꦫꦭ꧀ multikultural karena ada beragam suku bangsa dan kebangsaan. Ternyata, Surabaya juga pernah sebagai kota kosmopolitan, dimana berbagai kebangsaan sudah pernah ada di era kolonial. Mereka beraktivitas di kawasan, yang sekarang disebut Kota Lama Surabaya.

Di kawasan ini pernah menjadi pusat perdagangan dan bisnis serta administrasi berbagai kebangsaan yang bermukim di Surabaya. Tidak hanya orang orang Belanda dan Eropa, tetapi ada sejumlah besar orang orang ꦗꦼꦥꦁ Jepang.

Tradisi Jepang di Surabaya: Kimono dan kue Mochi. Foto: nanang PAR

Dalam catatan Wakil Konjen Jepang di Surabaya, Ishii Yutaka, banyak toko toko dan perkantoran orang orang Jepang di daerah ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁꦗꦼꦥꦸꦤ꧀ Kembang Jepun. Bahkan ada komplek pemakaman orang orang Jepang di Kembang Kuning, yang hingga sekarang masih menjadi perhatian warga Jepang.

Hingga sekarang ꦏꦼꦧꦼꦫꦒꦩꦤ꧀ keberagaman etnis masih menjadi warna kultural Surabaya. Keberagaman, bumbunya adalah toleransi atau intoleransi. Sejarah membuktikan bahwa meski Surabaya itu beragam tapi rasa toleransinya tinggi. Hingga sekarang.

 

Aksara Jawa Dalam Keberagaman

Aksara Jawa adalah milik etnis Jawa. Di tengah tengah ꦏꦼꦧꦼꦫꦒꦩꦤ꧀ keberagaman di kota Surabaya, Aksara Jawa dapat hadir di tengah tengah masyarakat yang majemuk. Bahkan dalam kegiatan budaya Jawa, Sinau Aksara Jawa yang digelar komunitas Puri Aksara Rajapatni, peserta belajar dari beragam latar belakang etnis dan kebangsaan. Salah satunya adalah Jeva da Silva, yang berdarah Timor Timur. Lainnya ada orang Jepang dan orang Amerika. Tentunya juga ada orang Jawa.

Cross Cultural Understanding di kelas Sinau Aksara Jawa. Foto: nanang PAR

Atas perbedaan itu, mereka bisa saling toleransi dan sekaligus belajar tentang ꦥꦼꦂꦧꦺꦣꦄꦤ꧀ perbedaan. Diantaranya adalah belajar tentang makanan (jajanan), sehingga dalam satu kesempatan belajar, ada yang membawa jajanan khas Jepang. Akhirnya, selain belajar Aksara Jawa, ada kesempatan saling tukar pengetahuan melalui jajanan suatu daerah. Mei Ishii, misalnya, membawa makanan khas Jepang, Mochi Mochi.

Mochi, kue khas Jepang di kelas Sinau Aksara Jawa. Foto: nanang PAR

Suasana belajar menjadi lebih menarik karena ada ꦥꦼꦭꦗꦫꦤ꧀ pelajaran yang tidak terduga. Yaitu pelajaran cross cultural understanding, meski membandingkan antara mochi mochi (Jepang) dan klepon (Jawa). Bahkan, bahan perbandingannya berkembang hingga onde onde. Tidak cuma berdiskusi pada batas bentuk makanannya, tetapi juga mengenai isi, bahan pembuatan hingga asal makanan. Misal klepon banyak ditemukan di Bangil dan onde onde di Mojokerto.

Kue Mochi dalam varian rasa sebagai camilan di kelas Sinau Aksara Jawa. Foto: nanang PAR

Jadi, kelas Sinau Aksara Jawa membuka peluang interaksi dan diskusi budaya lainnya sebagai adanya keragaman yang ada. Interaksi inilah yang pada akhirnya membuka ꦕꦏꦿꦮꦭ cakrawala toleransi antar pemegang budaya yang berbeda. Selain mengenai obyek makanan, juga pakaian daerah. (nanang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *