Rajapatni.com: Surabaya (13/5/24) – Inilah sebuah suasana di tempat publik, dimana ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦲꦚ꧀ꦗꦶꦤ꧀ Aksara Hanjin (China) langsung berinteraksi di tengah kesibukan masyarakat. Pemandangan ini bukan di Singapore ataupun di negeri Tirai Bambu. Tapi di kota Surabaya, tepatnya di jalan Kembang Jepun, yang dikenal sebagai Kampung Pecinannya Surabaya.
Ya, di sepanjang jalan ini signage beraksara China (Hanjin) ditulis dengan background warna warni dan berfont macam macam. Ramai dan meriah. Penggunaan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦲꦚ꧀ꦗꦶꦤ꧀ Aksara Hanjin jauh lebih memberikan kesan sebagai Kampung Pecinan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦲꦚ꧀ꦗꦶꦤ꧀ daripada kuliner, yang selama ini digelar. Malah Kampung Pecinan dengan mengetengahkan wisata kulinernya semakin meredup. Awalnya jumlah lapak pedagang banyak, kini kurang dari separuh.
Kemeriahan signage beraksara Hanjin ini juga tidak terlepas dari peran warga, yang menempati persil persil di jalan ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁꦗꦼꦥꦸꦤ꧀ Kembang Jepun. Meski belum semua persil memasang, tetapi dari persil yang sudah memasang telah berhasil menyulap penampilan jalan Kembang Jepun sebagai wajah Pecinan Surabaya.
Warga, yang menempati persil untuk toko dan ꦥꦼꦂꦏꦤ꧀ꦠꦺꦴꦫꦤ꧀ perkantoran, bukanlah warga asli etnis Tionghoa. Melainkan keturunan atau China Peranakan. Bahkan diantara mereka tidak bisa membaca Aksara China.
Seorang aktivis aksara Jawa dari komunitas ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, pada Sabtu siang (13/4/24) sengaja datang ke jalan Kembang Jepun dan bertanya pada warga China peranakan yang sedang berjalan di sana. Ketika ditanya bagaimana bacanya salah satu signage beraksara China di sebuah toko, warga, yang tidak mau menyebut namanya itu, mengatakan ia tidak bisa membaca. Begitu ditanya lagi, tulisan mana yang ia tau. Dijawabnya, ia tidak tau semua.
Menurutnya, meski dia dan lainnya tidak bisa membaca, namun semangat mempertahankan jati diri dan ꦧꦸꦣꦪꦊꦭꦸꦲꦸꦂ budaya leluhur sangat kuat. Apalagi disadarinya bahwa etnis Tionghoa di Surabaya sudah lama.
Tidak salah. Warga etnis Tionghoa memang sudah menjadi bagian dari multikulturalisme di Surabaya. Bahkan mereka punya sebutan tersendiri untuk kota Surabaya. Yaitu Su Shui, yang artinya sebuah kawasan yang dikelilingi oleh empat air (sungai). Sebetulnya apa yang diketahui sebagai kawasan ꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ Pecinan Surabaya adalah suatu tempat yang dilingkari oleh empat Sungai.
Di barat ada ꦏꦭꦶꦩꦱ꧀ Kalimas, di Selatan ada jalan Jagalan (dahulu sebuah kanal), di Timur ada Kali Pegirian dan di utara ada jalan Kalimati Wetan-Kalimati Kulon-Kalimalang, yang dulunya adalah sungai yang menghubungkan Kali Pegirian dan Kalimas.
Keberadaan Pemukim Tionghoa ini diawali dengan masuknya ꦧꦁꦱꦩꦺꦴꦔꦺꦴꦭ꧀ Bangsa Mongol (abad 13), lalu rombongan Cheng Ho (abad 15), yang selanjutnya gelombang kedatangan warga etnis Tionghoa pada abad ke 17 hingga 19 (Claudia Salmon). Gelombang kedatangan mereka ini selalu singgah di titik yang sama. Yaitu di Su Shui (Pecinan Surabaya).
Kini tempat itu dikenal kawasan ꦗꦭꦤ꧀ꦏꦫꦺꦠ꧀ Jalan Karet, Kembang Jepun dan sekitarnya. Sementara warga etnis Tionghoa yang beraktivitas di kawasan itu adalah peranakan. Namun demikian Aksara Hanjin, yang menjadi bagian dari budaya, menjadi media untuk menunjukkan jati diri warga etnis dan peranakan Tionghoa.
Adalah kebanggaan Surabaya karena masih bisa mempertahankan ꦏꦼꦫꦒꦩꦤ꧀ꦧꦸꦣꦪ keragaman budaya, meskipun etnis Tionghoa bukanlah etnis asli. Bangsa Tionghoa salah satu etnis asing di Surabaya.
Apakah ada budaya asli setempat? Jelas ada. Yaitu Jawa. Salah satu budaya setempat adalah literasi ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa. Aksara Jawa memang sudah digunakan oleh pemerintah kota Surabaya di kantor kantor pemerintah. Tapi lebih cenderung tertutup, di dalam ruangan kantor pemerintah. Tidak seperti Aksara Hanjin yang langsung berinteraksi dengan masyarakat.
Bisakah Aksara Jawa seperti Aksara China (Hanjin), seperti yang terpasang di jalan ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁꦗꦼꦥꦸꦤ꧀ Kembang Jepun? (nanang PAR)