Aksara Jawa Sebagai ꦣꦪꦠꦫꦶꦏ꧀ꦮꦶꦱꦠ Daya Tarik Wisata di Kampung Eropa Surabaya. 

Rajapatni.com: Surabaya (4/4/24) – Dalam dunia pariwisata, kita mengenal ꦄꦠꦿꦏ꧀ꦱꦶꦮꦶꦱꦠ Atraksi Wisata (AW) dan ꦣꦪꦠꦫꦶꦏ꧀ꦮꦶꦱꦠ Daya Tarik Wisata (DTW). Ketika pemerintah kota Surabaya sedang menata atau revitalisasi kawasan Kota lama, khususnya Kampung Eropa, apa yang dipersiapkan untuk menjadi Atraksi Wisata dan Daya Tarik Wisatanya sehingga mampu menarik pengunjung datang ke sana?

Kunjungan wisatawan Eropa ke Kampung Eropa Surabaya. Foto: nanang PAR

Ternyata Atraksi Wisata dan Daya Tarik Wisata itu berbeda. Berdasarkan pengalaman N. Purwono, Ketua ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni yang pernah bekerja di dunia industri pariwisata tidak kurang dari 20 tahun (tour operator, tour planner dan guide), ia membedakan antara Daya Tarik Wisata dan Atraksi Wisata.

Perbedaan utama antara Daya Tarik Wisata dan ꦄꦠꦿꦏ꧀ꦱꦶꦮꦶꦱꦠ Atraksi Wisata adalah bahwa daya tarik wisata merujuk pada segala sesuatu yang menarik minat orang dalam melakukan perjalanan ke suatu tempat. Sedangkan atraksi wisata merujuk pada kegiatan atau aktivitas yang dilakukan seseorang selama berwisata.

Jadi, ꦣꦪꦠꦫꦶꦏ꧀ꦮꦶꦱꦠ daya tarik wisata bisa terdiri dari berbagai macam atraksi wisata, tetapi atraksi wisata tidak selalu merupakan bagian dari daya tarik wisata.

Kemudian, apa yang lebih mudah dan praktis dilakukan di kawasan Kampung Eropa, yang sedang ditata oleh pemerintah kota Surabaya ini?

 

Contoh tampilan isi papan nama dengan bahasa Belanda, Indonesia dan Aksara Jawa. Foto: dok Rajapatini. 

Menurut hemat ꦥꦸꦂꦮꦤ Purwono adalah sesuatu yang bisa menjadi perhatian publik dan sesuatu itu yang bersifat langka dan atau kontras. Sesuatu itu adalah menghadirkan objek budaya tak benda berupa Aksara Jawa sebagai nama jalan yang dikemas dalam satu bingkai papan nama jalan. Sebagai pegiat Aksara Jawa dari ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, Purwono berjalan sejalan dengan kebijakan pemerintah Kota Surabaya yang menggunakan Aksara Jawa di wilayahnya.

Plat lama di Surabaya. Foto: dok rajapatni.

Purwono menambahkan bahwa penggunaan Aksara Jawa sebagai Daya Tarik Wisata bisa dipakai dalam penamaan nama nama jalan di sana. Secara anatomi, ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa memiliki bentuk yang indah dan seni.

Dalam papan nama jalan ini ada nama Indonesia (sekarang), nama Belanda (dahulu), terjemahan nama Belanda dan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa. Sebetulnya tampilan bingkai (signage) seperti ini bukan hal yang baru digunakan di Surabaya. Di era kolonial sebuah plat signage ini justru umum adanya. Pada plat itu ada bahasa Melayu (Indonesia), Belanda dan Aksara Jawa.

Model signage untuk nama jalan, khususnya di kawasan Kampung Eropa ini, adalah upaya mengembalikan khasanah sejarah ꦏꦺꦴꦠꦯꦸꦫꦨꦪ kota Surabaya dalam etalase Kampung Eropa yang sedang ditata oleh pemerintah Kota Surabaya. Signage nama jalan inilah, yang bisa menjadi daya tarik wisata di kawasan Kampung Eropa Surabaya.

Pembuatan ꦥꦥꦤ꧀ papan nama jalan ini, tentu harus disertai desain tiang papan nama yang lebih attractive sehingga wujudnya berbeda dari tiang papan nama yang sudah ada di kota Surabaya. Dengan desain yang atraktif dan berbeda tentu akan menjadi daya tarik yang selanjutnya menjadi spot fotografi.

Seperti halnya di kota ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ Yogyakarta, tiang dan papan nama jalan menjadi tempat fotografi. Tentu saja tiang nama jalan ini diletakkan pada suatu tempat yang bisa mewadahi atraksi fotografi.

Kota Surabaya, dengan Kampung Eropanya, sangat memungkinkan dirancang demikian. Surabaya, di kawasan Kampung Eropanya, memiliki berbagai daya tarik wisata terkait dengan ꦄꦂꦱꦶꦠꦺꦏ꧀ꦠꦸꦂ arsitektur bangunan kolonial. Maka dengan daya tarik desain tiang papan nama yang atraktif dan edukatif akan banyak menarik perhatian pengunjung.

Wisatawan Eropa diperkenalkan dengan Aksara Jawa yang dipasang di Taman Apsari. Foto: nanang PAR.

Apalagi kawasan ini tengah diperkenalkan ke ribuan ꦮꦶꦱꦠꦮꦤ꧀ wisatawan yang turun dari kapal kapal pesiar. Wisatawan asing akan terpesona dengan Aksara Jawa (Nusantara) ketimbang Aksara Latin. Aksara Jawa akan bisa menjadi sumber informasi budaya setempat. (nanang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *