Rajapatni.com: Surabaya (22/6/24) – INSKRIPSI Aksara Jawa menghiasi kota Maxen, ꦗꦼꦂꦩꦤ꧀ Jerman sejak 1848. Siapa yang membuat enkripsi itu?
Bisa dikatakan bahwa keberadaan inskripsi Aksara Jawa itu menjadi bukti nyata bahwa Aksara Jawa sebagai simbol bahasa Jawa sudah ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦸꦤꦶꦪ mendunia. Aksara Jawa dibawa dan dikenalkan oleh para duta budaya dan bangsa dalam percaturan dunia internasional kala itu.
Aksara Jawa ini terpahat pada sebuah bangunan masjid kecil atau paviliun, yang dikenal dengan nama ꦫꦸꦩꦃꦧꦶꦫꦸ Rumah Biru (Blaues Häusel) di kota Maxen, Jerman. Paviliun ini memang berkubah ala sebuah masjid, yang pula dilengkapi dengan bulan sabit pada puncak kubah.
Orang Indonesia mengatakan bangunan ini adalah ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦣ꧀ masjid. Masjid kecil. Orang Jerman mengatakan ini sebuah paviliun. Paviliun atau Rumah Biru ini didirikan oleh bangsawan Jerman, Friedrich Anton Serre, pada tahun 1848.
Anton Serre adalah sahabat baik ꦫꦣꦺꦤ꧀ꦱꦭꦺꦃ Raden Saleh. Nah, Raden Saleh lah orang yang membuat inskripsi Aksara Jawa di Rumah Biru (Blaues Häusel) itu. Aksara Jawa itu artinya “Muliakan Tuhan dan Cintailah Manusia”. Tepat dibawah inskripsi Aksara Jawa terdapat inskripsi Aksara Latin dalam bahasa Jerman, yang artinya juga sama “Muliakan Tuhan dan Cintailah Manusia”.
Jawa : “Puji ing dewa asiha ing manungsa”.
Jerman : “Ehre Gott und liebe die Menschen”
Rumah Biru, yang dibangun oleh Friedrich Anton Serre pada tahun 1848 sebagai tanda hormat untuk Raden Saleh, menjadi spot ꦥꦼꦫꦶꦔꦠꦤ꧀ peringatan penghormatan buat Raden Saleh oleh masyarakat Jerman karena riwayat yang pernah diukir di kota Maxen, Jerman ini.
Raden Saleh memang pernah tinggal di Jerman. Selama tinggal di Jerman, Raden Saleh tidak ragu menunjukkan identitasnya sebagai ꦎꦫꦁꦗꦮ orang Jawa dan muslim. Pada zamannya, Raden Saleh adalah jembatan kultur antara Indonesia dan Jerman. Sekarang setelah lebih dari satu setengah abad, telah tercipta hubungan baik Indonesia Jerman dimana keduanya bisa saling mengenal, mengisi, dan memperkaya. Raden Saleh pernah tinggal di Maxen selama 10 tahun sejak tahun 1839.
Dikutip dari laman www.dw.com, dituliskan tentang latar belakang singkat Raden Saleh mengapa Raden Saleh sampai hijrah ke Jerman.
Dituliskan bahwa ketika Raden Saleh beranjak dewasa, Raden Saleh mendapatkan ꦧꦺꦪꦱꦶꦱ꧀ꦮ beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda untuk mengasah bakat seni lukisnya di Belanda pada tahun 1829. Pelukis ternama Eropa seperti Cornelis Kruseman dan Andries Schelfhout adalah gurunya.
Namun, perlakuan masyarakat Belanda yang memandang Raden Saleh sebagai warga kelas dua, mendorongnya untuk ꦲꦶꦗꦿꦃ hijrah ke Jerman pada 1839. Dari Den Haag, pria peranakan Arab Jawa itu berkelana dan mengunjungi sejumlah kota di Jerman, seperti Düsseldorf, Frankfurt, Berlin, hingga akhirnya tiba di Dresden dan Maxen.
Di Maxen, Raden Saleh menetap selama 10 tahun (1839-1849) karena merasa diterima oleh penduduk setempat yang menghormatinya sebagai manusia dan menghargai karya lukisnya. Orang-orang Jerman memberinya julukan ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦝꦫꦶꦗꦮ “Pangeran dari Jawa”. Pengalaman belajar serta hidup di Eropa sangat mempengaruhi gaya melukis dan pemikiran Raden Saleh.
Kembalinya ke Indonesia, Raden Saleh masih menerima perlakuan diskriminasi, sehingga mendorongnya menciptakan karya lukis yang mengekspresikan ꦏꦿꦶꦠꦶꦏ꧀ kritik atas kolonialisme Belanda. Kritik tersebut tertuang dalam lukisan “Penangkapan Diponegoro”, “Sebuah Banjir di Jawa”, dan “Pertarungan antara Banteng dan Singa”.
Salah satu karya Raden Saleh terjual dengan harga mencapai hampir $ 10 juta (Rp 143,5 miliar). Lukisan-lukisan lainnya kini bisa dilihat di 43 ꦩꦸꦱꦺꦪꦸꦩ꧀ museum di seluruh dunia. Jumlah itu tidak termasuk karya yang telah dibeli oleh kolektor.
Setidaknya ꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦠꦲꦸꦤ꧀ setiap tahun warga Jerman dalam peringatan dan penghormatan untuk Raden Saleh selalu memandang Aksara Jawa yang menyimpan pesan “Muliakan Tuhan dan Cintailah Manusia”. Ini adalah pesan universal yang berlaku untuk masyarakat dunia. (nanang PAR)