Rajapatni.com: Surabaya (5/4/24) – ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧀ Aksara Jawa bukanlah sesuatu yang asing di dan bagi Surabaya. Kehadiran kembali aksara Jawa, yang diperkenalkan dan dipasang di seluruh perkantoran kota Surabaya mulai dari Balai Kota, gedung DPRD, Rumah Sakit milik pemerintah kota, OPD, Kecamatan hingga semua Kelurahan, adalah upaya mendekatkan kembali pengetahuan tradisional dengan masyarakat modern.
Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid, dalam sambutan tertulisnya pada pendirian komunitas Aksara Jawa Surabaya, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni pada 22 Desember 2023 lalu, menyampaikan bahwa mengembalikan kemampuan membaca aksara lokal, dalam konteks ini aksara Jawa, adalah langkah mengintegrasikan kembali kompendium pengetahuan lokal tersebut dengan masyarakat masa kini.
Pernyataan Farid ini menguatkan ꦱꦸꦫꦠ꧀ꦌꦣꦫꦤ꧀ Surat Edaran yang dibuat Sekretaris Daerah Kota Surabaya, Ikhsan, atas nama Walikota Surabaya, Eri Cahyadi (19 September 2023) dalam rangka penggunaan Aksara Jawa di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Bahkan Ikhsan melalui pesan singkat Whatsapp (WA) menyampaikan kepada Ketua Puri Aksara Rajapatni, Nanang Purwono, agar ada kegiatan lanjutan berupa aksi belajar menulis dan membaca Aksara Jawa.
Dalam perkembangannya dan seiring dengan semakin digunakannya Aksara Jawa di semua kantor kantor pemerintah Kota Surabaya, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni membuka kelas Sinau Aksara Jawa (SAJ) yang terbuka untuk umum dan gratis. Kegiatan Sinau Aksara Jawa ini diadakan secara kolaborasi dengan UPTD Museum dan Gedung Seni di Museum Pendidikan Surabaya setiap hari Sabtu sore.
Aksara Jawa sebetulnya bukanlah hal yang asing di Surabaya. Aksara Jawa pernah menjadi media komunikasi tertulis di Surabaya. Bukti bukti tertulis itu masih bisa dijumpai di tempat tempat bersejarah di kota Surabaya. Misalnya di ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦣ꧀ꦏꦼꦩꦪꦺꦴꦫꦤ꧀ Masjid Kemayoran Surabaya yang dibangun pada kisaran tahun 1840-an, Gapura kompleks Sunan Ampel yang diduga di bangun pada abad 15 atau 16, di komplek makam para Bupati Surabaya di Sentono Agung Botoputih Pengirian dan juga di makam Bupati Surabaya lainnya di Bibis Surabaya.
Satu lagi Aksara Jawa menjadi media komunikasi, yang masih digunakan oleh Majalah berbahasa Jawa, ꦥꦚ꧀ꦗꦺꦧꦂꦱꦼꦩꦔꦠ꧀ Panjebar Semangat yang didirikan oleh dr. Soetomo pada masa masa pergerakan jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Hingga sekarang Majalah mingguan ini masih terbit dan masih menggunakan Aksara Jawa dalam salah satu rubriknya.
Jika kemudian Aksara Jawa menjadi ꦭꦁꦏ langka, itu karena masyarakatnya sendiri yang enggan menggunakan. Maka dengan semangat pemerintah Kota Surabaya, yang berupaya mendekatkan kembali Aksara Jawa ke masyarakat modern saat ini menjadi langkah yang patut dihargai dan bahkan patut diikuti oleh masyarakat di tempat lain yang masih mengenal aksara lokalnya masing-masing.
Sekarang ketika kota Surabaya sedang menata kotanya sebagai wadah ꦥꦫꦶꦮꦶꦱꦠ pariwisata dan edukasi, maka Aksara Jawa pantas berada disana seiring dengan kebutuhan kota yang ada. Jangan sampai dalam proyek revitalisasi Kampung Eropa, kita diajak mengingat momen kehadiran bangsa Eropa di Surabaya tapi lupa keberadaan Aksara Jawa, yang justru menjadi hilang karena peradaban baru Eropa pada sekitar abad 19 dan 20.
Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid:
“Seperti kita ketahui kompendium (red: ikhtisar) pengetahuan masyarakat Nusantara sampai abad 19 dan awal abad 20 masih dilakukan terutama dalam aksara Nusantara. Dengan meluasnya pendidikan modern Eropa dan penggunaan aksara Latin secara eksklusif, maka hubungan masyarakat dengan kompendium pengetahuan lokal semakin renggang”.
Jangan sampai ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa menjadi Aksara asing, yang lebih asing daripada Aksara asing seperti China, Korea, Jepang dan Thailand, yang semakin menjadi hiasan kota Surabaya. Ini menjadi ironis. (nanang PAR).