Aksi Bottom Up Sambut Kota Lama Surabaya. 

Rajapatni.com: Surabaya (1/6/24) -Kehadiran ꦏꦺꦴꦠꦭꦩꦯꦸꦫꦨꦪ Kota Lama Surabaya semakin nyata. Tidak lagi sekedar wacana dan tentunya tidak kalah dari Semarang dan Jakarta, dua kota tua yang dulu ditata oleh Belanda. Surabaya dulu juga ditata Belanda. Kini ditata oleh pemerintah nya masing masing. Masing masing punya kelebihan dan kekurangan dalam kekinian. Tapi semua sudah menambah pesona kota yang berada di tepi pesisir.

Surabaya memang kota terakhir yang berbenah, ꦩꦼꦫꦺꦮ꦳ꦶꦠꦭꦶꦱꦱꦶ merevitalisasi keberadaan kawasan ketuanya. Istilah yang dipakai di Surabaya adalah Kota Lama Surabaya (KLS). Kawasan KLS ini tidaklah luas. Hanya sekitar 4 hektar. Berdiri di tepi barat sungai Kalimas. Dulunya kawasan Kota Lama Surabaya dibatasi oleh tembok. Karenanya disebut walled town. Inilah Stad van Soerabaja.

Stad van Soerabaia, the Walled Dutch Town, Kota Lama Surabaya, akan segera menjadi jujugan tempat ꦮꦶꦱꦠ wisata baru yang nyaman dan terbebas dari padatnya parkiran kendaraan bemo dan bus kota serta polusi asap knalpot.

Di dalam area KLS masih dihuni oleh warga Surabaya. Misalnya ada satu RT yang warganya berdiam di jalan Mliwis, Jl Glatik, Jl. Prenjak, Jl. Jalak dan Jl. Cendrawasih. Wilayah administrasi ini adalah RT03/RW10 ꦏꦼꦭꦸꦫꦲꦤ꧀ꦏꦿꦼꦩ꧀ꦧꦔꦤ꧀ꦱꦼꦭꦠꦤ꧀ Kelurahan Krembangan Selatan. Mereka menyambut gembira kehadiran konsep Kota Lama Surabaya.

Khususnya mereka yang tinggal di Jalan Mliwis dan Jalan Glatik, yang langsung beririsan dengan wajah Kota Lama (Jalan Rajawali dan Jalan Jembatan Merah), senang dengan hadirnya Kota Lama Surabaya. Tetapi juga ada yang kuatir, khususnya mereka yang berdagang sebagai penjual makanan dan minuman (ꦮꦫꦸꦁ warung) di sana.

“Apalah artinya ada Kawasan Kota Lama, kalau itu nantinya tidak memberi manfaat bagi kami. Dengan perbaikan di Jalan Glatik (red. utara perempatan Glatik-Mliwis), kami disuruh pindah”, kata Rini, salah satu warga yang tinggal di Jalan Mliwis.

“Warga kami ingin bisa tetap berdagang di sekitar tempat tinggalnya dan kami ingin bisa berdagang di Jalan Glatik sisi selatan perempatan Jalan Mliwis – Jalan Glatik”, kata Ricky Setiono, Ketua RT03/RW10 ꦏꦼꦭꦸꦫꦲꦤ꧀ꦏꦿꦼꦩ꧀ꦧꦔꦤ꧀ꦱꦼꦭꦠꦤ꧀ Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan.

Pasalnya di ujung utara Jalan Glatik sudah ada stan ꦏꦺꦴꦥꦶꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Kopi Nusantara, yang notabene bukan dari warga setempat. Uneq uneq warga ini disampaikan kepada Imam Syafii, anggota DPRD Kota Surabaya, yang berangkat dari Dapil 1, yang wilayahnya meliputi Krembangan.

Imam Syafii, anggota DPRD Kota Surabaya bertemu Max Meijer, konsultan heritage dan permuseuman dari Belanda pada Jumat sore (31/5/24). Foto: dok PAR

Ketika itu, Jumat sore (31 Mei 2024), Imam Syafi’i melakukan ꦏꦸꦚ꧀ꦗꦸꦔꦤ꧀ kunjungan di wilayahnya untuk menemui warganya, yang memang antusias menyambut konsep wisata Kota Lama Surabaya. Pertemuan warga dan wakil rakyat ini berlangsung natural kekeluargaan di lorong Jalan Mliwis dan Jalan Glatik.

Disaat yang bersamaan, disana kedatangan dua tamu dari ꦧꦼꦭꦤ꧀ꦝ Belanda. Mereka adalah ahli dan konsultan Heritage dan Permuseuman dari lembaga yang bernama TiMe Amsterdam, Belanda. Namanya Max Meijer dan Petra Timmer.

Diskusi dadakan antar warga, ꦮꦏꦶꦭ꧀ꦫꦏꦾꦠ꧀ Wakil Rakyat (Imam Syafi’i) dan Ahli Heritage (Max Meijer dan Petra Timmer) tentang partisipasi warga terhadap kegiatan Kota Lama Surabaya berlangsung santai. Mereka diskusi sambil melihat bangunan Cagar Budaya dari abad 19 di Jalan Mliwis. Mereka melihat dan masuk ke pabrik lemoen JC van Dronggelen and Helfach, yang sekarang dikenal pabrik Lemoen Siropen. Mereka juga masuk melihat lihat interior rumah berpilar yang berdiri di sebelah barat Siropen.

Eksotika bangunan abad 19 di jalan Mliwis menjadi latar diskusi terbuka. Foto: dok PAR

Selain diskusi sambil melihat bangunan ꦕꦒꦂꦧꦸꦣꦪ Cagar Budaya, mereka juga menikmati duduk di warung warga sambil menikmati kopi panas Jalan Glatik dan rumah rumah lama di lorong, yang dulunya dikenal sebagai Gang Balai Kota (Stadhuizsteeg). Yaitu gang dimana rumah rumah dinas petinggi Stad van Soerabaia berada. Rumah rumah, yang berdiri di gang Balai Kota, berada di belakang kantor Balai Kota Surabaya jaman dulu. Letaknya di mulut Jembatan Merah sisi barat.

Rumah rumah dinas ini seperti halnya perumahan elit di Jalan ꦗꦏ꧀ꦱꦄꦒꦸꦁꦱꦸꦥꦿꦥ꧀ꦠꦺꦴ Jaksa Agung Suprapto, yang berdekatan dengan Balai Kota Surabaya di kawasan Ketabang.

Imam Syafi’i tertegun begitu tau bahwa Jalan Glatik, yang dulunya bernama Stadhuizsteeg, adalah perumahan pejabat Balai Kota Surabaya. Ini dilihat dari namanya. Zaman dulu, nama nama Jalan di Kawasan Kota Lama Surabaya menunjukkan akan adanya infrastruktur dan ꦥ꦳ꦱꦶꦭꦶꦠꦱ꧀ꦏꦺꦴꦠ fasilitas Kota.

“Wah, gang Balai Kota Surabaya”, kata Imam Syafii tertegun.

Ngopi di warung Glatik lahirkan gagasan Kota Lama Surabaya sebagai Museum Hidup (Living Museum) dan ditandai deangan toast kopi. Foto: dok PAR

Imam semakin tertegun ketika mendengar laporan Ketua RT, Ricky Setiono, tentang kondisi Jalan Gelatik sisi selatan perempatan Mliwis-Glatik.

“Masak di Jalan Mliwis sudah bagus dan Jalan Glatik sisi utara sudah bagus, lalu kontras dengan Jalan Glatik sisi Selatan, yang masih kumuh. Selain itu got buntu dan permukaan Jalan menurun. Kalau hujan pasti banjir”, keluh Ketua RT 03 Ricky Setiono kepada Imam Syafii.

Kondisi lingkungan ꦕꦒꦂꦧꦸꦣꦪ Cagar Budaya ini juga menjadi perhatian konsultan Heritage dan Permuseuman Belanda, Max Meijer, yang bersama Imam Syafii dan warga langsung melihat dari dekat masalah lingkungan yang dikeluhkan warga.

“Seiring dengan revitalisasi ini, warga setempat berhak mendapat perlakuan yang baik, bukannya mendapat dampak negatif dari pembangunan Kota Lama Surabaya”, kata Max sambil ngopi di warung kopi warga di Jalan Glatik.

“Rasa kopinya enak, dari biji kopi pilihan”, imbuh Max yang kala itu dikerubuti anak anak.

 

Kota Lama Surabaya Sebagai Museum Hidup

Sementara itu, Max Meijer dan Petra Timmer juga mengapresiasi ꦥꦂꦠꦶꦱꦶꦥꦱꦶ partisipasi warga dalam menyambut Kota Lama Surabaya. Berdagang dengan lebih tertib dan serasi adalah bagian dari bagaimana warga mempersiapkan diri menyambut Kota Lama Surabaya. Seperti dengan pemasangan banner untuk identitas warung, yang berisi pesan informatif dan edukatif.

Menurut Max, banner yang edukatif dan informatif ini adalah bentuk sambutan dari warga untuk mendukung konsep Kota Lama Surabaya. Spanduk informatif dan edukatif ini terpasang di warung yang ada di Jalan Mliwis. Isinya ada nama jalan di zaman Belanda dan terjemahannya, serta ada penulisan aksara Jawa, sebuah peradaban ꦭꦶꦠꦺꦫꦱꦶꦠꦸꦭꦶꦱ꧀ literasi tulis sebelum bangsa Eropa masuk Surabaya pada abad 17. Tentu saja pada spanduk itu tertulis menu masakan.

“Kami didukung oleh komunitas budaya, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni untuk upaya edukasi bagi warga kami. Termasuk melalui spanduk untuk warung warung”, jelas Ricky Setiono, Ketua RT.

Gairah warga menyambut Kota Lama Surabaya diapresiasi Max Meijer dan Petra Timmer. Foto: dok PAR

Kehadiran Max Meijer dan Petra Timmer (TiMe Amsterdam, Belanda), Imam Syafi’i (DPRD Kota Surabaya) dan Nanang Purwono ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ (Puri Aksara Rajapatni) melahirkan satu gagasan baru sebagai upaya menjaga keberlanjutan program Kota Lama Surabaya. Setelah melihat potensi dan peluang Kota Lama Surabaya, kawasan ini layak sebagai sebuah Museum Hidup Kota Surabaya.

“Tidak hanya dari sisi fisik kawasan, kehidupan warga setempat adalah nyawa bagi Kota Lama yang perlu dijaga”, ujar Max yang memang sebagai konsultan permuseuman yang selama ini lembaganya, TiMe Amsterdam, banyak melanglang buana di bawah bendera UNESCO. Max dan ꦥꦼꦠꦿ Petra sudah sering datang ke Indonesia memberikan konsultansi permuseuman. Misalnya dengan museum Kereta Api di Ambarawa.

Sementara itu, menurut Petra Timmer, yang banyak menaruh perhatian pada karya HP Berlage, sepakat dengan gagasan ꦏꦺꦴꦠꦭꦩꦯꦸꦫꦨꦪ Kota Lama Surabaya sebagai Museum Hidup (Living Museum), yang bisa dikoneksikan dengan Peneleh sebagai Perpustakaan Hidup (Living Library).

“Di sini ada Gedung Singa, karya Berlage, yang merupakan satu satunya gedung modern di awal abad 20”, jelas Petra, yang sekarang sedang persiapan peluncuran buku “Berlage di Nusantara”. Buku ini akan diluncurkan di gedung Beur van Berlage di Kota Amsterdam pada bulan Juni 2024.

“You are a part of the book”, kata Petra sambil menunjuk ke arah penulis.

Menikmati segarnya sirup Siropen. Foto: dok PAR

Di penghujung kunjungan, Wakil Rakyat dan Tamu dari Belanda diajak mencicipi segarnya sirup Siropen langsung di pabrik Siropen, yang sudah berdiri sejak 1922. (nanang PAR)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *