Menjaga Warisan Budaya

Aksara:

Rajapatni.com: SURABAYA – Ingatan Kolektif tentang masa Majapahit terus dijaga. Di era Gubernur Soekarwo, rumah rumah model Majapahitan menyeruak menghiasi desa desa di Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di desa Bejijong Trowulan, rumah rumah itu menghiasi jalanan desa.

Masyarakat setempat dan pengunjung, yang datang ke desa wisata itu, dapat merasakan suasana lingkungan tempo dulu. Mereka tidak hanya menikmati suatu kampung halaman, tetapi bisa masuk ke rumah rumah dan menikmati atmosfir sosial dan budayanya. Termasuk melihat dari dekat konstruksi dan model rumah Majapahitan, yang bersumber dari relief relief percandian Majapahitan.

Replika rumah trumah Majapahitan di desa Bejijong. Foto: nng

Melalui rumah rumah yang merupakan replika rumah rumah majapahitan, dapat terbangun memori kolektif tentang masa Majapahit. Replika ini hanya salah satu dari objek Majapahitan. Suasana pedesaan mulai dari pepohonan seperti kelapa dan kebun tebu adalah hal lain.

Kala itu, tebu memiliki peran penting dalam sejarah Majapahit, khususnya dalam hal ekonomi dan budaya. Pada masa itu, tebu sudah dikenal sebagai bahan baku untuk membuat minuman manis, yang populer di kalangan masyarakat dan penguasa. Budidaya tebu juga menjadi bagian dari sistem pertanian yang maju di Majapahit.

Pun demikian dengan tanaman padi. Sawah merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat Kerajaan Majapahit, yang dikenal sebagai kerajaan agraris dengan sistem pertanian maju. Sawah digunakan untuk bercocok tanam padi, komoditas utama Majapahit yang melimpah dan menjadi sumber mata pencaharian utama.

Itu semua ada di kawasan desa desa yang telah dihiasi dengan replika rumah rumah Majapahitan. Ditambah lagi bahwa di desa tersebut terdapat Patung Budha tidur sebagai gambaran salah satu kepercayaan masyarakat setempat.

Kegiatan ekskavasi di sekitar candi Brahu. Foto: par

Seperti apakah suasana lain di sekitar percandian. Ekskavasi adalah salah satu pelengkap untuk membangun suasana lingkungan kuno. Melalui hasil ekskavasi, kita dapat mempelajari banyak hal tentang masa lalu, seperti bentuk temuan, hubungan antar temuan, kronologi, perilaku manusia, aktivitas manusia dan alam, serta rekonstruksi kehidupan masa lampau. Ekskavasi juga membantu memahami sejarah budaya, sosial, ekonomi dan ritual.

Selain di Beijing, ekskavasi juga pernah dilakukan di Klinterejo di sekitar candi Bhre Kahuripan dimana terdapat struktur bangunan candi dengan sebuah yoni dan stella atau prabhamandala, sandaran arca, yang dipercaya sebagai arca Tribhuwana Tunggadewi. Hasil dari ekskavasi di sana adalah struktur tembok, yang lingkarannya cukup luas. Dari keberadaan bagian dari pagar tembok, kita bisa melihat dan kemudian membayangkan bagaimana lingkungan di seputaran candi tersebut.

Angka tahun pada sebuah yoni di Bhre Kahuripan. Foto: nng

Keberadaan suatu bangunan dipercaya dapat membantu mengkonstruksi ingatan kolektif yang berikutnya dapat pula membantu adanya kesadaran kolektif untuk bersama merawat, menjaga dan melestarikannya baik secara fisik maupun nilai nilainya: sejarah dan budayanya.

Angka tahun 1294 C atau 1372 M. Foto: nng

Di sebuah yoni di Bhre Kahuripan misalnya terdapat angka tahun, yang menunjukkan tahun 1294 Saka atau 1372 Masehi. Angka ini menunjukkan bahwa candi ini dibangun pada masa Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Dari struktur dan bangunan yang masih ada itu menjadi petunjuk akan pernah adanya satu kegiatan di masa lalu, yang kemudian diyakini oleh masyarakat menjadi sebuah punjer yang masih memiliki kekuatan. Tidak sedikit para pejabat negeri ini berkunjung ke tempat ini.

Bangunan ini, meskipun sudah tidak utuh, namun masihtetap memiliki nilai penting untuk dijaga dan dilindungi. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *