Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – ꧌ꦱꦸꦮꦫ꧍ Suara demokrasi terdengar di ruang rapat Pansus Raperda pemajuan kebudayaan di ruang Komisi D DPRD Kota Surabaya pada selasa siang (28/5/25). Hadir sebagai ꧌ꦤꦫꦱꦸꦩ꧀ꦧꦼꦂ꧍ Narasumber adalah A Hermas Thony sebagai ꧌ꦥꦼꦔ꧀ꦒꦒꦱ꧀꧍ penggagas Raperda pemajuan kebudayaan ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya periode 2019-2024. Di pihak lain adalah Kukuh Yudha Karnanta sebagai akademisi ꧌ꦈꦤꦶꦮ꦳ꦺꦂꦰꦶꦠꦱ꧀ ꦌꦂꦭꦔ꧀ꦒ꧍ Universitas Airlangga, Heri dari Disbudporapar serta Firly dari bagian Hukum dan kerjasama Pemkot Surabaya.

꧌ꦫꦥꦠ꧀꧍ Rapat Pansus ini dipimpin oleh dr. Zuhrotul Mar’ah dengan dibersamai wakil ketua Pansus William Wirakusuma dan 5 anggota Pansus. Diantaranya adalah Imam Syafii, Michael Leksodimulyo, ꧌ꦄꦗꦼꦁ ꦮꦶꦫꦮꦠꦶ꧍ Ajeng Wirawati.
꧌ꦩꦼꦔꦮꦭꦶ꧍ Mengawali rapat Pansus ini, A Hermas Thony dipersilahkan terlebih dahulu untuk ꧌ꦩꦼꦩꦥꦂꦑꦤ꧀꧍ memaparkan pandangannya. Menurut Thony Surabaya sebagai Kota Pahlawan, tidak cukup hanya berpredikat ꧌ꦏꦺꦴꦠꦥꦃꦭꦮꦤ꧀꧍ kota pahlawan, tapi stakeholder kota harus bisa meneguhkan melalui perilaku sebagai ꧌ꦅꦩ꧀ꦥ꧀ꦭꦼꦩꦺꦤ꧀ꦠꦱꦶ꧍ implementasi nilai nilai juangnya. Inilah kejuangan. Karenanya dalam Raperda pemajuan kebudayaan perlu ada “Kejuangan” sehingga reperda itu berbunyi “Perda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan ꧌ꦏꦼꦥꦃꦭꦮꦤꦤ꧀꧍ Kepahlawanan Surabaya”.

꧌ꦱꦼꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫ꧍ Sementara itu Kukuh Yudha Karnanta berpendapat bahwa sesuai pengalamannya ketika ꧌ꦩꦼꦟ꧀ꦝꦩ꧀ꦥꦶꦔꦶ꧍ mendampingi membuat raparda yang sama, tetapi di tingkat provinsi bahwa kejuangan dan kepahlawanan tidak bisa dicampur dengan perda ꧌ꦥꦼꦩꦗꦸꦮꦤ꧀꧍ pemajuan kebudayaan dengan alasan Pemajuan kebudayaan memiliki tujuan yang bersifat komunal. Sedangkan Kejuangan memiliki tujuan yang lebih bersifat individu karena menyangkut norma dan ꧌ꦏꦫꦏ꧀ꦠꦼꦂ꧍ karakter.
꧌ꦥꦼꦟ꧀ꦝꦥꦠ꧀꧍ Pendapat Kukuh itu disanggah oleh Thony yang menjelaskan adanya azas legalitas. Menurutnya ꧌ꦄꦗ꦳ꦱ꧀꧍ azas legalitas adalah prinsip fundamental dalam hukum, yang menyatakan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dihukum jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang jelas dan berlaku sebelum ꧌ꦠꦶꦟ꧀ꦝꦏꦤ꧀꧍ tindakan itu dilakukan. Secara sederhana, asas legalitas menegaskan bahwa suatu perbuatan baru bisa dianggap melanggar hukum jika ada ꧌ꦥꦼꦫꦠꦸꦫꦤ꧀꧍ peraturan yang melarangnya.
Bahwa ꧌ꦩꦼꦤꦩ꧀ꦧꦃꦏꦤ꧀꧍ menambahkan Kejuangan dan Kepahlawanan pada Raperda pemajuan kebudayaan tidak dilarang karena tidak ada larangan dalam undang undang. ꧌ꦠꦺꦴꦤꦶ꧍ Thony menambahkan bahwa penggabungan itu juga mengikuti semangat Omnibus Law, dimana dua aturan (undang undang atau perda) bisa disederhanakan ꧌ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦝꦶꦱꦠꦸ꧍ menjadi satu.
Apalagi dalam konsultasinya ke (alm) Tjahjo Kumolo, menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Thony ꧌ꦝꦶꦱꦫꦤ꧀ꦏꦤ꧀꧍ disarankan untuk menggabungkan Kejuangan dan Kepahlawanan dalam Pemajuan Kebudayaan yang telah memiliki cantolan hukum ꧌ꦧꦼꦫꦸꦥ꧍ berupa Undang Undang.

Imam Syafi’i, ꧌ꦭꦺꦒꦶꦱ꧀ꦭꦠꦺꦴꦂ꧍ legislator yang berlatar belakang jurnalis dan magister hukum itu, mengatakan bahwa belakangan juga sudah ada juga ꧌ꦥꦼꦚꦠꦸꦮꦤ꧀꧍ penyatuan aturan atau perda di kota Surabaya. Misalnya tentang perda perdagangan dan industri. Upaya itu merujuk pada ꧌ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱꦺꦥ꧀꧍ konsep Omnibus Law, yaitu undang-undang atau perda, yang menggabungkan beberapa pengaturan hukum yang sebelumnya diatur dalam undang-undang yang berbeda dalam satu undang-undang. Omnibus law bertujuan untuk ꧌ꦩꦼꦚꦼꦝꦼꦂꦲꦤꦏꦤ꧀꧍ menyederhanakan regulasi dan mempercepat proses legislasi.

Di sisi yang lain, ꧌ꦄꦗꦼꦁꦮꦶꦫꦮꦠꦶ꧍ Ajeng Wirawati anggota pansus lainnya, mengamati dan mengatakan bahwa ia setuju dengan menjadikan satu Pemajuan kebudayaan dan Kejuangan – kepahlawanan kota ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya. Sebagai bentuk Raperda inisiatif, raperda ini haru memiliki kekhasan Surabaya dan karenanya bisa ꧌ꦧꦼꦂꦨꦺꦝ꧍ berbeda dari undang undang di atasnya.
Hal itu juga ꧌ꦝꦶꦠꦼꦏꦤ꧀ꦏꦤ꧀꧍ ditekankan oleh Imam Syafi’i sejauh tambahan pada Raperda ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

꧌ꦱꦼꦤꦝ꧍ Senada dengan anggota lainnya, dr. Michael Leksodimulyo dengan tegas mengatakan bahwa Kejuangan dan Kepahlawanan bisa ꧌ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦝꦶ꧍ menjadi satu dengan perda pemajuan kebudayaan. Penyatuan itu menjadi wujud sifat berani Surabaya. Michael juga mengingatkan bahwa pemajuan kebudayaan bisa ꧌ꦩꦼꦤꦩ꧀ꦥꦸꦁ꧍ menampung Aksara sebagai objek Pemajuan kebudayaan (OPK). Kehadiran Aksara ini akan bisa menambah 10 OPK yang ada.
꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫ꧍ Aksara adalah sistem tulisan atau simbol visual, yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa atau bunyi, yang selama ini belum ꧌ꦝꦶꦄꦠꦸꦂ꧍ diatur dalam Undang undang. Aksara memungkinkan manusia untuk berkomunikasi melalui tulisan dan mewakili ujaran. Contohnya, ꧌ꦧꦲꦱꦅꦟ꧀ꦝꦺꦴꦤꦺꦱꦾ꧍ Bahasa Indonesia menggunakan aksara Latin.
Sementara Bahasa adalah ꧌ꦱꦶꦱ꧀ꦠꦺꦩ꧀꧍ sistem lambang bunyi ujaran yang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Bahasa juga ꧌ꦩꦼꦫꦸꦥꦏꦤ꧀꧍ merupakan alat komunikasi untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan ide.
Menurut definisi Undang Undang bahwa Bahasa adalah ꧌ꦱꦫꦤ꧍ sarana komunikasi antar manusia, baik berbentuk lisan, ꧌ꦠꦸꦭꦶꦱꦤ꧀꧍ tulisan, maupun isyarat, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Sementara Aksara adalah simbol yang digunakan ꧌ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀꧍ untuk merepresentasikan bahasa atau bunyi.
Selama ini aksara yang didengungkan ada di dalam objek Bahasa, ꧌ꦠꦼꦂꦚꦠ꧍ ternyata sesuai ꧌ꦝꦺꦥ꦳ꦶꦤꦶꦱꦶ꧍ definisi dalam Undang undang Bahasa adalah berbentuk lisan, tulisan, maupun isyarat. Bukan simbol ꧌ꦧꦸꦚꦶ꧍ bunyi.
꧌ꦏꦉꦤꦚ꧍ Karenanya Aksara juga diusulkan oleh Thony agar ꧌ꦩꦱꦸꦏ꧀꧍ masuk sebagai objek Pemajuan kebudayaan. Tidak hanya masuk tetapi juga dengan jelas tersebut dalam Perda. Dengan aturan yang jelas maka keberadaannya bisa dengan jelas turut melindungi aksara. Menurut Thony Aksara awal dari ꧌ꦥꦼꦫꦢꦧꦤ꧀꧍ peradaban.
꧌ꦱꦼꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫ꧍ Sementara itu Heri dari Disbudporapar yang didampingi oleh Firly dari bagian Hukum dan Kerjasama Pemkot ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya berharap agar judul Raperda yang berbunyi “Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya” bisa mencerminkan isi yang diwakili dengan pasal per pasal agar ꧌ꦄꦥ꧀ꦭꦶꦏꦠꦶꦥ꦳꧀꧍ aplikatif. (PAR/nng)