Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – Senang mendengar pujian bahwa Surabaya adalah kota Raya pelestari Aksara Jawa. Pujian itu bukan tanpa sebab. Tentu ada awal mulanya, ada asal usulnya. Ada yang mendasari.
Jelas akan merasa sedih dikatakan seperti itu kalau tidak ada faktanya. Itu namanya mengolok olok atau menyindir. Siapapun tentu saja malu jika diolok olok.
Pujian untuk Surabaya ini bagai predikat tanpa sertifikat. Atau bagai Raja tanpa Mahkota. Status itu memang ada. Misalnya Gayatri Rajapatni bagai Ratu tanpa mahkota. Lainnya adalah HOS Tjokroaminoto juga disebut Raja Jawa tanpa mahkota. Baik Rajapatni dan Tjokroaminoto adalah sosok sosok yang telah berperan besar di negerinya.
Gayatri Rajapatni disebut sebagai ratu tanpa mahkota karena ia telah menjadi bhiksuni sehingga pemerintahannya diwakili oleh putrinya, Tribhuwanotunggadewi.
Gayatri berperan memberikan masukan tentang strategi perpolitikan bagi Majapahit. Ia juga menanamkan ideologi Mahapatih Gajah Mada, seperti gagasan untuk menyatukan seluruh negeri tetangga dibawah satu federasi.
Sementara HOS Tjokroaminoto dijuluki “Raja Jawa Tanpa Mahkota” oleh pemerintah kolonial Belanda karena keberaniannya menentang kebijakan pemerintah. Julukan ini juga diberikan karena ia merupakan pemimpin organisasi massa terbesar dalam pergerakan nasional Indonesia.

Hal serupa bahwa Kota Surabaya diam diam bagai burung Garuda yang sekali mengepakkan sayap langsung terbang tinggi ke angkasa. Banyak pihak dibuat tertegun. Itu ibarat Surabaya sebagai kota modern, yang heterogen yang dalam sekejap mampu mengembalikan Aksara Jawa di tengah belantara kemajuan kota.
Aksara Jawa di mana mana menyertai 145 kantor kelurahan se Surabaya. Ditambah 31 kantor Kecamatan dan kantor kantor OPD serta Balai Kota sendiri dan Kantor DPRD Kota Surabaya.
Berpredikat sebagai pelestari aksara Jawa tanpa sertifikat memang tidak mudah jika itu manusia. Umumnya manusia ingin punya nama. Kecuali manusia yang penuh dharma. Mereka tidak butuh tanda jasa atas perbuatannya. Yang penting berbuat sesuatu yang baik buat sesama dan bangsanya.
Itulah Surabaya dengan faktanya yang telah menuliskan aksara Jawa di seluruh penjuru kota. Kualitas predikat ini harus dijaga. Dalam perjalanan waktu ke depan dengan segala potensi perubahan dalam pembangunan, aksara Jawa tidak boleh pudar dan hilang tapi sebaliknya harus berkembang dalam segala kehidupan.
Selain dibutuhkan good will atau niat baik dari semua stakeholder kota, maka akan lebih bagus bila kota memiliki kelengkapan alat hukum berupa Peraturan Daerah, yang menjadi dasar implementasi pemajuan aksara Jawa dan kebudayaan.
Saat ini Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya sedang dibahas di DPRD kota Surabaya. Demi menjaga, melindungi dan melestarikan aksara Jawa, maka Object Aksara Jawa bisa diwadahi secara jelas dalam Perda Pemajuan Kebudayaan itu.
Semoga Surabaya bisa berperan bagai Gayatri Rajapatni dan HOS Tjokroaminoto yang rela tanpa menyandang mahkota tapi bangga bisa berperan untuk bangsanya. Dalam hal Surabaya adalah berperan dalam pelestarian aksara Jawa. (PAR/nng).