Renungan NKRI: Siapa Bertanggung Jawab Pada Sedikit Anak Muda Surabaya Yang Mau Belajar (Melestarikan) Aksara Jawa?

Rajapatni.com: Surabaya (11/8/24) – Pertanyaan tersebut di atas adalah ꦄꦤꦺꦴꦩꦭꦶ anomali. Menurut literasi Wikipedia, anomali adalah istilah umum, yang merujuk kepada keadaan penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya. Pertanyaan, yang menjadi judul artikel ini, tidak biasanya.

Biasanya, suatu pertanyaan seperti di atas lebih mengarah kepada ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦝꦶꦱꦶ kondisi buruk dan mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi buruk itu.

Namun, pertanyaan di atas lebih bernilai ꦥꦺꦴꦱꦶꦠꦶꦥ꦳꧀ positif. Yaitu masih adanya anak muda, yang mau belajar aksara Jawa, yang sekarang terhitung langka dan terancam punah jika tidak diselamatkan dan dilestarikan.

Cara cara belajar Aksara Jawa manual dan digital dilahapnya. Foto: nanang

Terhadap masih adanya anak anak muda Surabaya, yang mau belajar ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ aksara Jawa di kota besar Surabaya yang modern, lantas siapa yang bertanggung jawab untuk mewadahi mereka agar Aksara Jawa bisa lestari di kota besar Surabaya ini.

Siapa yang mau mewadahi semangat mereka yang masih sudi belajar ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa. Atau, dibiarkan saja sehingga semangat mereka menjadi pudar dan aksara Jawa semakin hilang, lalu tergantikan oleh aksara asing?

Anak anak muda ini perlu wadah dalam belajar aksara Jawanya. Foto: nanang

Padahal Undang Undang 5/2017 tentang ꦥꦼꦩꦗꦸꦮꦤ꧀ꦏꦼꦧꦸꦣꦪꦄꦤ꧀‌ Pemajuan Kebudayaan, utamanya pada Pasal 5 tentang Obyek Pemajuan Kebudayaan (OPK) mengamanatkan adanya perlindungan dan pelestarian OPK.

Nah, lantas siapa yang bertanggung jawab dalam upaya ꦥꦼꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶꦪꦤ꧀ pelestarian OPK sesuai dengan amanat undang undang?

Dari kegiatan Sinau Aksara Jawa, yang diadakan oleh Komunitas Aksara Jawa, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, ternyata masih ada anak anak muda Surabaya, yang masih mau belajar aksara Jawa.

Tulisan aksara Jawa manual yang indah. Atas dan bawah.  Foto: nanang
Foto: nanang

Selama ini, menurut mereka (peserta Sinau Aksara Jawa), tidak ada ꦮꦣꦃ wadah bagi mereka untuk menyalurkan bakat dan minat belajar aksara Jawa. Akhirnya, keinginan mereka itu mandek. Kemandekan inilah yang menjadi awal kepunahan yang akhirnya hilang.

ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni memandang kepunahan budaya ini adalah datangnya bahaya, yang mengancam hilangnya jati diri bangsa. Untuk melindungi dari kepunahan itu, Rajapatni dengan suka rela hadir membuat wadah belajar aksara Jawa. Mereka, anak anak muda yang mau belajar Aksara Jawa, akhirnya bisa datang dan bergabung dalam kegiatan Sinau Aksara Jawa.

Di tangan merekalah lestarinya budaya bangsa. Foto: nanang

ꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Rajapatni sangat mengapresiasi mereka, yang masih mau belajar dan peduli dalam pelestarian aksara Jawa sebagai salah satu aksara Nusantara. Tentu jumlah mereka terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang belum punya peduli atau tidak mau belajar Aksara Jawa. Yang lebih membahayakan lagi adalah mereka, yang meremehkan aksara Jawa. Padahal aksara Jawa adalah sebagai bagian dari jati diri bangsa.

Saat ini bangsa ꦆꦤ꧀ꦝꦺꦴꦤꦺꦱꦶꦪ Indonesia sedang bersiap memperingati HUT Kemerdekaan yang ke 79 tahun, yang jatuh pada 17 Agustus 2024. Usianya belum 100 tahun. Usianya masih seumur jagung jika dibandingkan dengan eksistensi usia negara yang pernah berdiri di atas tanah dan air Nusantara ini. Misalnya Hindia Belanda pernah menginjakkan kakinya di bumi ini selama 350 tahun. Kerajaan Majapahit pernah berdiri di atas tanah dan air yang sama selama hampir 200 tahun. Sekarang Indonesia di atas bumi dan air yang sama masih 79 tahun, kurang dari 100 tahun.

Namun ancaman fisik (teritorial) sudah merongrong keutuhan bangsa. ꦠꦶꦩꦺꦴꦂꦠꦶꦩꦸꦂ Timor Timur hilang. Pulau Ligitan dan Sipadan lenyap ditelan Malaysia. Indonesia gruwung.

Jika budaya, yang menjadi ruh negeri ini luntur dan hilang, negeri ini seperti kehilangan ruh. Secara fisik wilayah kepulauannya memang masih ada, tapi sifatnya bulan lagi ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Nusantara, tapi asing. Entah dari negeri mana. Secara fisik tanah air ini adalah Indonesia tapi secara non fisik wilayah ini seperti bukan lagi Indonesia. Tidak ada lagi aksara Jawa. Lenyap pula aksara aksara lain.

Apa yang terjadi ketika Bangsa ꦆꦤ꧀ꦝꦺꦴꦤꦺꦱꦶꦪ Indonesia tidak lagi bicara bahasa Indonesia? Mari kita pikirkan dan sikapi bersama. Ini sama halnya bagaimana menyikapi masih adanya anak muda Surabaya yang masih mau belajar Aksara Jawa, tapi tidak ada wadahnya. Siapa yang bertanggung jawab? (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *