Puri Aksara Rajapatni: Berbagi Pandangan dan Kepedulian Dalam Lawatan Budaya.

Rajapatni.com: Surabaya (12/5/24) – MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ꦮ꦳ꦤ꧀ꦝꦭꦶꦱ꧀ꦩꦼ vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain (keindahan alam dan sebagainya). Selain itu, vandalisme juga bisa diartikan sebagai perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.

Dalam kaitannya dengan hasil pengamatan pegiat budaya ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni yang baru baru ini mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Singosari, didapati adanya bekas vandalisme oleh tangan tangan usil dan tidak bertanggung jawab.

Candi Sumberawan di tengah belantara kesunyian. Foto: nanang PAR

Meski sekarang pengawasan dan penjagaan sudah semakin ketat untuk menghindari kerusakan pada bangunan ꦕꦒꦂꦧꦸꦣꦪ Cagar budaya, namun peringatan terhadap kemungkinan vandalisme dan bentuk bentuk pengrusakan lainnya harus tetap dilakukan.

Jika diamati dengan cermat, bekas bekas dari tangan tangan usil pengunjung itu ada saja sehingga selain merusak benda benda, vandalisme membuat pemandangan pada obyek akan menjadi jelek dan ꦩꦼꦫꦸꦱꦏ꧀ merusak.

Bekas vandalisme lama yang melukai badan candi. Foto: nanang PAR

Sesungguhnya pemandangan tidak sedap ini tidak hanya pada obyek bendanya, tapi pada lingkungan di sekitar bangunan Cagar budayanya.

Goresan lain yang membuat pemandangan tak sedap. Foto: nanang PAR

“Aduh, masih saja ada pengunjung buang sampah sembarangan. Coba lihat di sungai itu”, keluh ꦆꦠꦯꦸꦫꦗꦪ Ita Surojoyo, pendiri Puri Aksara Rajapatni ketika berjalan menuju Candi Sumberawan di Singosari.

Candi ꦱꦸꦩ꧀ꦧꦺꦫꦮꦤ꧀ Sumberawan berada di tengah tengah belantara indah dan dialiri sungai kecil yang airnya berasal dari sumber sumber yang tersebar di sekitar candi. Bahkan di bawah candi sendiri juga terdapat sumber. Air yang keluar dari beberapa sumber ini kemudian mengalir menjadi satu melalui sungai kecil yang dilewati para pengunjung.

Air sumber yang jernih dan segar alami. Foto: nanang PAR

Ketika melewati ꦗꦼꦩ꧀ꦧꦠꦤ꧀ jembatan di atas sungai itu, terlihat sekali sampah sampah plastik dan bungkus  bungkus makanan dari para pedagang kedai yang ada di lingkungan candi. Kotoran dan sampah plastik ini sangat merusak pemandangan.

“Ini, baik pada pedagang dan pengunjung di kawasan ini harus diperingatkan untuk tidak membuang sampah sembarangan”, imbuh Ita.

Ita Surojoyo mengamati dari dekat bekas bekas vandalisme. Foto: nanang PAR

Ita juga mendapati adanya coretan coretan pada candi Sumberawan. Coretannya bukan berupa tulisan yang menggunakan cat atau sejenisnya, tapi berupa ꦥꦲꦠꦤ꧀ pahatan yang secara fisik melukai dan merusak badang candi.

“Ihhh.. coba lihat, itu malah merusak candi”, keluh Ita sambil menunjuk pada bagian candi yang dipahat.

Sesungguhnya vandalisme ini sudah terjadi sebelumnya. Malah tidak sekedar iseng, tetapi ada unsur kesengajaan. Maka jadilah pengrusakan. Menurut ꦏꦩꦸꦱ꧀ꦧꦼꦱꦂꦧꦲꦱꦆꦤ꧀ꦝꦺꦴꦤꦺꦱꦶꦪ Kamus Besar Bahasa Indonesia vandalisme juga bisa diartikan sebagai perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.

Bukti bukti itu nampak nyata. Misalnya ꦏꦼꦫꦸꦱꦏꦤ꧀ kerusakan yang terlihat di komplek Candi Singasari, dimana semua arca kehilangan kepala. Tidak hanya pada bagian kepala, bahkan terjadi pada tubuh arca dan bagian bagian lainnya. Maka rusaklah arca arca itu.

Yang dikuatirkan lagi adalah jika ada ꦥꦼꦔꦿꦸꦱꦏꦤ꧀ pengrusakan pada alam sekitar yang dampaknya bisa merusak baik bangunan candi maupun lingkungan dimana candi itu berada (situs). Ini berarti bahwa vandalisme dan kerusakan baik secara alami maupun dengan unsur kesengajaan akan bisa terjadi di masa depan yang berpotensi mengancam kelestarian Cagar budaya.

Karenanya potensi vandalisme itu masih akan ada jika ꦥꦼꦔꦮꦱꦤ꧀ pengawasan itu melemah.

A. Hermas Thony berbagi kepedulian dalam rangka pelestarian carar budaya dan budaya. Foto: nanang PAR

Sementara itu, A Hermas Thony ketika di Candi Sumberawan mengamati tentang kepemilikan lahan di mana candi Sumberawan itu berada. Candi ini dikelola atau milik Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI, tetapi lahannya milik Perhutani. Sehingga BPK XI sendiri tidak bisa leluasa melakukan ꦥꦼꦩꦼꦭꦶꦲꦫꦄꦤ꧀ pemeliharaan serta pemanfaatan sesuai undang undang yang berlaku baik tentang Cagar Budaya maupun Pemajuan Kebudayaan.

Pernah suatu ketika, lahan di dalam area candi dipavingisasi dalam rangka penataan, tetapi harus dibongkar karena berada di atas lahan milik ꦆꦤ꧀ꦱ꧀ꦠꦤ꧀ꦱꦶ instansi lain.

“Kalau masih di bawah dua kepemilikan dan jika keduanya tidak saling mendukung demi ꦏꦼꦥꦼꦤ꧀ꦠꦶꦔꦤ꧀ kepentingan bersama maka pengembangan itu berpotensi macet”, pungkas Thony, yang berbicara atas nama instansi pemerintah dimana ia menjabat di Surabaya sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya.

Baik Thony dan Ita Surojoyo, yang dalam lawatan budaya atas nama komunitas budaya ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni ini, mencoba berbagi pandangan dalam upaya pelestarian budaya. (nanang PAR)*

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *