Rajapatni.com; SURABAYA – Pernah pada suatu masa ber perjalanan ke daerah Pacitan. Ketika roda mulai menggelinding di sepanjang jalan, yang beriringan dengan sungai Grindulu (antara Ponorogo dan Pacitan), terlihat banyak penambang pasir dan batu. Mereka memecah bebatuan besar yang beraneka ukuran menjadi koral kecil kecil yang diukur kubik untuk dijual.

Bebatuan besar sekalipun akan hancur oleh palu palu kecil penambang. Bebatuan yang akhirnya menjadi koral dihargai dengan ukuran kubik. Batu batu itu tidak berharga, hanya senilai materialan bangunan.
Berbeda dengan batu, yang jauh lebih kecil, tetapi di permukaannya tertoreh Aksara peninggalan nenek motang, seperti Aksara Jawa Kuna (Kawi) dan Pallawa. Batu batu itu tidak sekedar batu alam tapi sudah menjadi bukti peradaban. Batu bertulis itu umum disebut prasasti. Nilainya luar biasa. Bukan karena batunya, tetapi karena aksaranya.

Perlakuan Istimewa terhadap Aksara ini tidak hanya ada di Indonesia. Tetapi juga di mancanegara. Misalnya Rosetta Stone (Prasasti Rosetta), yang keberadaannya sekarang disimpan di The British Museum, London, UK.

Prasasti Rosetta (Rosetta Stone) adalah sebuah prasasti batu granodiorit, yang ditemukan pada tahun 1799. Prasasti ini berukirkan tiga versi Aksara dari sebuah maklumat yang dikeluarkan di Memphis, Mesir pada tahun 196 SM selama dinasti Ptolemaik atas nama Raja Ptolemaios V.
Melalui rangkaian Aksara, sungguh tersimpan makna peradaban manusia. Melalui Aksara kita bisa tau sejarah peradaban. Melalui Aksara kita bisa mengenal betapa cerdasnya manusia pada masa lalu dalam menyampaikan pesan. Sehingga kita sekarang di era modern bisa mengenal betapa cerdas para pendahulu dan leluhur, termasuk leluhur Nusantara dengan aksara aksara yang diciptakannya. Mereka adalah orang orang cerdas yang luar biasa karena bisa membuat simbol simbol bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pesan, pikiran dan bahkan perasaan.
Nenek moyang kita juga sangat luar biasa karena di Nusantara ini ditemukan beberapa Aksara. Sekarang tinggal sekitar 15 Aksara. Sementara bahasa daerahnya menembus angka 700.
Lho kok jadi sekitar 15 Aksara?. Sebuah logika pertanyaan yang sangat logis.
Jika dulu Aksara daerah di Nusantara seiring dengan jumlah bahasa daerah, maka bisa berarti bahwa sudah banyak Aksara Nusantara yang punah.
Bisa jadi 15 Aksara ini juga sudah terancam punah. Cepat atau lambat 15 Aksara itu akan berkurang jika tidak ada upaya penyelamatan, perlindungan dan pelestarian.
Punahnya Aksara bukan karena hilangnya benda prasasti yang mengandung Aksara, tetapi lebih ke ketidakmengertian manusia terhadap Aksara. Karena tidak mengerti itulah, maka Aksara yang tertera pada batu bisa jadi dipecah dan dicacah seperti bebatuan di Pacitan.
Aksara memang sangat penting dan bernilai sebagai bukti peradaban. Mari kita perjuangan agar Aksara Nusantara berpayung hukum yang jelas sebagaimana Bahasa daerah yang telah diayomi di Pasal 36 UUD 1945. (PAR/nng)