Rajapatni.com: Surabaya – “Semalam di Malaysia” sebuah lagu yang dilantunkan oleh Bimbo tidak asing di telinga kita. Namun “Sebulan di India” agaknya berbeda. Ini memang bukan song lyric tetapi pengalaman empirik ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo, pendiri ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍Puri Aksara Rajapatni di India. Selama di negeri Hindustan ini (3 November – 3 Desember 2024), baginya bagai pengalaman meminum “seteguk air” peradaban India yang membasuh dahaga di tengah keringnya musim dingin yang tak bersalju.
Adalah peradaban ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦅꦟ꧀ꦝꦶꦪ꧍ Aksara India, yang bagai kesegaran peradaban asli India, yang dinikmati dan dikenali oleh Ita Surojoyo, salah satu ꧌꧇꧔꧒꧇ꦥꦼꦱꦼꦂꦡ꧍ 42 peserta dari ꧌꧇꧒꧕꧇ꦤꦼꦒꦫ꧍ 25 negara, yang terpilih dalam The International Training Program (ITP) dalam skema the Indian Technical and Economic Cooperation (ITEC), yang ꧌ꦝꦶꦱꦼꦊꦔ꧀ꦒꦫꦏꦤ꧀꧍ diselenggarakan oleh Pemerintah India selama satu bulan penuh mulai 5 November hingga 3 Desember 2024.
Selama mengikuti program, Ita Surojoyo secara formal belajar tentang peningkatan kapasitas dan keterampilan mengajar Bahasa Inggris di English and Foreign Language University (EFLU) Hyderabad.
Tetapi secara informal, Ita mengamati penggunaan Aksara India (Devanagari dan Telugu) di mana ia berada baik di Kota Hyderabad maupun di Delhi.
Atas pengamatan di berbagai tempat yang Ita kunjungi, Ita menyaksikan bagaimana Aksara Aksara lokal tradisional India bisa ꧌ꦧꦼꦂꦱꦟ꧀ꦝꦶꦁ꧍ bersanding dengan Aksara Latin. Di tempat-tempat wisata, di gedung gedung, papan papan nama ꧌ꦅꦤ꧀ꦥ꦳ꦺꦴꦂꦩꦱꦶ꧍ informasi, di toko toko, di mall dan masih banyak lagi, Aksara Dewanagari dan Telugu bisa dalam satu frame dengan Aksara Latin yang Berbahasa ꧌ꦅꦔ꧀ꦒꦿꦶꦱ꧀꧍ Inggris.
꧌ꦲꦺꦂꦩꦱ꧀ꦠꦺꦴꦤꦶ꧍ Hermas Thony, Tokoh Penggerak budaya ꧌ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya yang sekaligus Pembina Puri Aksara Rajapatni, menerima informasi dari Ita Surojoyo dari India dan mengatakan bahwa ꧌ꦧꦼꦂꦑꦕ꧍ berkaca dari India dan negara negara lain, kita sudah bisa melihat, bahwa di tempat-tempat usaha masyarakat sudah menyandingkan Aksara aslinya (lokalnya) “꧌ꦧꦼꦂꦯꦟ꧀ꦝꦶꦁ꧍ BERSANDING” dengan aksara latin.
“Ini sebagai bentuk kesadaran, kebanggaan dan bahkan kewajiban dari masyarakat. Berbeda dengan di Indonesia, Aksara Latin “DISANDUNGKAN” (dihantamkan) dengan aksara lokal sebagai bentuk ketidakpercayadirian, ꧌ꦥꦼꦔꦧꦻꦪꦤ꧀꧍ pengabaian dan bahkan pemusnahan identitas diri bangsa”, papar Thony.
Di India, Aksara Latin sudah mesra dengan aksara Dewanagarinya. Di China, Aksara Latin sudah ꧌ꦩꦼꦱꦿ꧍mesra dengan aksara Hanzi nya. Di ꧌ꦗꦼꦥꦁ꧍ Jepang, Aksara Latin sudah mesra dengan huruf Hirakana, Katagana dan Kanjinya.
“Di ꧌ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ꧍ Nusantara, Jawa dan terlebih Kota Surabaya? Kapan Aksara Jawa tidak jadi anak tiri di tanah leluhurnya sendiri?”, Tanya Thony.
Seperti lirik lagu “ Kalau Bulan Bisa Ngomong” seperti yang ꧌ꦝꦶꦭꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦏꦤ꧀꧍ dilantunkan Doel Sumbang, maka seperti halnya dengan frasa “Kalau Aksara Jawa Bisa Ngomong” seperti yang disampaikan A. hermas Thony, maka Aksara Jawa akan ꧌ꦩꦼꦔ꧀ꦒꦸꦒꦠ꧀꧍ menggugat kenapa dia “dianaktirikan”.
Inilah sekilas pencerahan, oleh oleh peradaban budaya yang dibawa oleh Ita Surojoyo dari India. Ita tidak pulang membawa Boneka ꧌ꦕꦤ꧀ꦠꦶꦏ꧀꧍ cantik dari India, tetapi peradaban cantik dari India. (PAR/nng)