Menjaga Kawasan Cagar Budaya

Cagar Budaya:

Rajapatni.com: SURABAYA – Lokasinya mencolok. Di jalan protokol, sebuah kawasan situs Cagar budaya Darmo. Persis di depan mata para pengendara motor. Muncul kekuatiran jika bangunan yang bakal didirikan di lahan itu, desain arsitektur nya tidak selaras dengan lingkungan Cagar budaya Darmo yang bercorak kolonial.

Dibrongsong pagar seng, tampak jelas dari jalan Darmo. Foto: nanang

Sebagai perbandingan, sebuah gedung perbankan di kawasan Kota Lama Surabaya, gedung BRI, sudah berdiri megah di lingkungan Cagar budaya. Sudah lama berdiri di sana tatkala pengawasan belum seketat sekarang. Apalagi di kawasan Cagar Budaya Kota Lama Surabaya. Desain arsitekturnya modern yang tidak selaras dengan lingkungan Cagar budaya.

Bangunan gedung Bank BRI yang tidak selaras dengan Kawasan Cagar Budaya Kota Lama Surabaya. Foto: ist

Jelas, berdirinya gedung Bank yang tidak serasi dan selaras dengan lingkungan itu akibatnya menuai kritik. Kritik tidak hanya datang dari dalam, tetapi juga dari luar. Semoga apa yang sudah terjadi di kota lama ini menjadi pelajaran buat sekarang dan mendatang dalam pembangunan fisik di kota Surabaya.

Sekarang kita menghadapi satu isu serupa. Sebuah bangunan akan didirikan di situs Cagar budaya Darmo. Lahannya sudah siap dibangun. Lahannya telah kosong dan tidak menyisakan bangunan apapun. Sudah rata dengan tanah.

Lantas, muncul rasa khawatir jika di lahan ini akan dibangun konstruksi yang tidak selaras dengan lingkungan Cagar budaya Darmo.

Lingkungan atau Situs Cagar Budaya Darmo memiliki ciri khas arsitektur kolonial Belanda Modern. Cirinya bangunan kolonial Belanda modern adalah penggunaan dormer. Dormer adalah jendela atau ventilasi lain yang terpasang pada dinding diantara kemiringan atap. Dormer pada rumah diikuti dengan bentuk atap bangunan yang didominasi dengan bentuk limas. Hal ini memperlihatkan perpaduan gaya Indonesia dan Kolonial.

Situs cagar budaya Perumahan Darmo merupakan aset penting bagi kota surabaya, karena keberadaanya sebagai perumahan elit kaum eropa Surabaya (bovenstad) dan arsitekturnya arsitektur kolonial Belanda pada masa kejayaanya sehingga sangat perlu dijaga kelestariannya.

 

Saatnya Awas!

Saatnya bangunan baru di Surabaya diatur, yang tidak hanya meninggalkan kekhasan lingkungan tetapi juga menambah kekhasan Surabaya secara arsitektural.

Belum lama, dalam rangkaian pembahasan Raperda Pemajuan Kebudayaan, desain arsitektur bangunan diharapkan bisa diperhitungkan untuk penguatan ciri ciri kota Surabaya. Misalnya muncul ornamen seperti image bambu runcing atau apapun yang melambangkan Surabaya.

Suatu perbandingan dengan Yogyakarta, disana ada ornamen seperti kuntum melati pada pagar. Di Bali ada corak corak Balinya sehingga ada visualisasi yang menunjukkan kekhasan daerah itu. Di Bejijong, Trowulan, Kabupaten Mojokerto, muncul rumah dan pagar khas Mojopahitan.

Ini adalah cara untuk menjaga ingatan kolektif daerah itu. Sehingga siapapun yang masuk kawasan Surabaya dapat disambut dengan kekhasan Surabaya. Selain image tiga dimensi, perlu juga ada musik musik khas Suroboyoan di tempat tempat publik seperti di hotel hotel.

Apalagi objek objek kejuangan lainnya sebagai visualisasi Surabaya sebagai kota Pahlawan. Maklum penetrasi desain kontemporer dan modern di Surabaya semakin marak yang kelak sangat berpotensi menenggelamkan kekhasan Surabaya.

Kembali ke objek lahan kosong di Raya Darmo, yang akan didirikan bangunan. Ini menjadi contoh yang baik dalam menjaga warna Surabaya. Bisakah? (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *