Sansekerta di Surabaya

Aksara :

Rajapatni.com: SURABAYA – Mungkin kita belum pernah mendengarkan bagaimana bunyi bahasa Sansekerta, kecuali bunyi dalam kata atau frasa. Misalnya suara frasa “Bhinneka Tunggal Ika”, “Bhayangkara” atau nama seseorang seperti Anindyaswari” yang berarti sempurna, pendiam dan jujur.

Sebetulnya bahasa Sansekerta dalam penulisan panjang dalam untaian aksara Jawa (kuno) ada di Surabaya. Yaitu terdapat pada prasasti Wurare yang umum pada arca Joko Dolog. Salah satu bunyi pada kalimat pertamanya menurut transliterasi Wikipedia adalah sebagai berikut:

Arca Joko Dolog dengan prasasti Wurare yang berbahasa Sansekerta. foto: ist

1. adāu namāmi sarbājñaṃ / jñānakayan tathāgataṃ | sarvvaskandhātiguhyasthani / sadasatpakṣavarjjitaṃ ||,

yang artinya:

“1. Pertama-tama aku memberikan penghormatan (puja puji) kepada Sang Tathagata (Pencipta), Sang Maha Tahu yang merupakan perwujudan dari pengetahuan yang lebih tinggi, yang bersemayam paling tersembunyi di dalam skandha, yang tidak bisa dikatakan ada atau tidak ada.”

Sosok Arcanya sudah tidak asing bagi warga Surabaya. Tapi isinya masih terlalu asing. Prasasti ini ditulis dalam aksara Jawa Kuna (Kawi) dengan bahasa Sansekerta.

Aksara Jawa kuno dengan bahasa Sansekerta. Foto: IS

Prasasti Wurare ini ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan aksara Jawa Kuno atau Kawi. Prasasti ini bertarikh 21 November 1289 dan berisi penghormatan untuk Raja Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singasari.

Adapun inskripsi pada lapik arca secara fisik sangatlah indah. Bisa jadi ini adalah inskripsi terindah yang pernah ada.

Arca Joko Dolog adalah arca Budha dimana aksara dan bahasa Jawa Kuna bersatu dengan bahasa Sansekerta. Ilustrasi perpaduan fisik ini bagai perpaduan keyakinan Kertanegara dimama Hindu bersatu dengan Budha dan jadilah Siwa Budha yang menjadi keyakinan Raja Kertanegara. Sebuah lambang persatuan yang pernah diidamkan oleh Kertanegara.

Interaksi antara Acra Jojo Dolog beserta Inskripsinya dengan pengunjung. Foto: IS

Kertanegara, raja terakhir Singhasari, memang memiliki cita-cita untuk menyatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaannya. Ia dianggap sebagai penguasa Jawa pertama yang memiliki ambisi untuk menyatukan Nusantara.

Usaha Kertanegara untuk mencapai cita-citanya ini kemudian menginspirasi Mahapatih Gajah Mada di masa pemerintahan Majapahit, yang juga bertekad menyatukan Nusantara.

Kertanegara, yang memerintah Singhasari antara tahun 1268-1292, dikenal sebagai raja yang berambisi memperluas wilayah kekuasaannya. Ia memiliki visi untuk menjadikan Singhasari sebagai pusat kekuasaan yang menguasai seluruh Nusantara.

Gajah Mada, yang kemudian menjadi Mahapatih Majapahit, sangat terinspirasi oleh cita-cita Kertanegara untuk menyatukan Nusantara. Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada dapat dianggap sebagai pernyataan politik untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Inskripsi beraksara Jawa dan berbahasa Sansekerta. Foto: ist

Boleh dibilang arca Joko Dolog yang menjadi perwujudan Raja Kertanegara adalah lambang cikal bakal konsepsi persatuan Nusantara, wawasan Nusantara. Isi konsep ini terbingkai dalam bahasa Sansekerta dan aksara Jawa.

Secara ringkas gagasan persatuan atau wawasan Nusantara itu bermula dari Jawa Timur, yang perwujudan sosok penggagasnya sekarang ada di Surabaya. Tak salah jika Joko Dolog dianggap menjadi simbol diplomasi masa lalu, sekarang dan mendatang. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *