Sejarah Budaya:
Rajapatni.com: SURABAYA – Surabaya, pada pasca Pengakuan Pemerintah Belanda atas kedaulatan bangsa Indonesia, langsung menyambut dengan menancapkan simbol simbol Kejuangan dan Nilai Nasionalisme (Cinta Tanah Airi) sebagai identitas bangsa.
Hanya berselang tiga bulan saja dari Desember 1949 – Maret 1950, Surabaya memaknai nilai Kejuangan dan Kepahlawanan serta Nasionalisme Cinta Tanah Air. Semua itu menjamur di Surabaya. Adalah walikota Doel Arnowo, yang menggagas pembangunan Tugu Pahlawan (nilai kejuangan) dan perubahan nama nama jalan yang asalnya bersifat kolonial menjadi nasional (nilai nasionalisme dan cinta tanah air).
Simbol Nilai Kejuangan

Menurut literasi Disbudporapar Kota Surabaya bahwa ada dua pendapat mengenai siapa yang menjadi pemrakarsa, sekaligus arsitek monumen yang terletak di Jalan Pahlawan Surabaya ini.
Menurut Gatot Barnowo, monumen ini diprakarsai oleh Doel Arnowo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Daerah Kota Besar Surabaya. Kemudian ia meminta Ir. Tan untuk merancang gambar monumen yang dimaksud, untuk selanjutnya diajukan kepada Presiden Soekarno.
Sedangkan menurut Ir. Soendjasmono, pemrakarsa monumen ini adalah Ir. Soekarno sendiri. Ide ini mendapat perhatian khusus dari Wali kota Surabaya, Doel Arnowo. Untuk perencanaan dan gambarnya diserahkan kepada Ir. R. Soeratmoko, yang telah mengalahkan beberapa arsitek lainnya dalam sayembara untuk pemilihan arsitek untuk membangun monumen ini. Konstruksi dimulai pada 10 November 1951 dan selesai pada November 1952 lalu diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1952.
Simbol Cinta Tanah Air

Jika Tugu Pahlawan menjadi simbol Kejuangan, maka simbol rasa Cinta Tanah Air dan Nasionalisme adalah keragaman Alam dan Budaya Indonesia. Lantas bagaimana membawa keragaman bangsa ini ke Surabaya ?
Tentu Surabaya tidak membuat “Taman Mini Indonesia Kaya” seperti di Jakarta dengan Taman Mini Indonesia Indahnya (TMII) tetapi dirupakan dengan nama nama jalan untuk menggantikan nama nama jalan yang berbau kolonial. Nama nama yang menggambarkan keberagaman kekayaan Indonesia ini seperti adanya klaster nama nama Candi, Pulau, Burung, Kota, Gunung, Kerajaan Nusantara, Pahlawan Nasional, rempah rempah, Para Raja Nusantara dan Sungai yang ada di Indonesia.
Selain kekayaan Nusantara, Surabaya juga masih mempertahankan local wisdomnya seperti nama nama daerah asli Surabaya seperti jalan Darmo, Kayoon, Gubeng, Pandegiling, Dinoyo, Ketabang, Bubutan dan sebagainya. Dengan datang dan berkeliling Surabaya, kita bisa mengenal Surabaya dan Indonesia.
Gagasan pada tahun 1950 itu ternyata relevan sampai sekarang. Surabaya menjadi Taman Mini Indonesia Kaya. Cukup dengan nama nama jalan, Surabaya membingkai Nusantara.
Membingkai Aksara Nusantara
Surabaya boleh membangun dan maju, namun Surabaya tidak boleh lupa dengan tradisi dan budayanya. Surabaya berdiri di bumi Jawa, yang secara kultur memiliki dan kaya budaya. Salah satunya adalah aksara Jawa sebagai simbol kecerdasan dan intelektual tulis peradaban Jawa.
Di Surabaya aksara sudah ada sejak zaman Sunan Ampel atau era Kerajaan Majapahit. Dari sisi peninggalan artifek, di sana memang terdapat benda benda arkeologi batu bertulis aksara Jawa. Ada prasasti dan ada pula inskripsi bertulis aksara Jawa. Ini berarti masyarakat Surabaya di masa lalu dalam komunikasi tulis sudah menggunakan aksara Jawa.
Maka akan bijaksana dan ramah budaya bila ada tulisan tulisan aksara Jawa. Selama ini aksara Jawa sudah digunakan di lingkungan perkantoran pemerintahan kota Surabaya. Namun belumlah cukup. Dengan menggunakan obyek papan nama jalan, seperti halnya walikota Doel Arnowo, mengungkapkan kekayaan Nusantara sebagai ekspresi cinta tanah air.
Sama halnya dengan menuliskan aksara Jawa untuk nama nama jalan. Penulisan aksara Jawa ini hanya bersifat penambahan, bukan menghilangkan nama nasional. Tulisan aksara Jawa ini berbunyi sama dengan yang berbahasa Indonesia.
Niscaya semakin bertambah tahun, peninggalan nenek moyang itu akan semakin dikenang dan dikenal. Ada peribahasa mengatakan “tak kenal maka tak sayang”.
Bukan tidak mungkin bahwa perubahan itu akan terus terjadi. Dengan menjaga aksara Jawa maka tradisi dan identitas bangsa ini juga akan tetap terjaga dan terlindungi. Syukur aksara Jawa sebagai obyek budaya akan menginspirasi apresiasi dan menginisiasi produk budaya.
Semangat menjaga nilai kejuangan, nasionalisme dan tradisi Surabaya harus tetap dirawat dan diruwat. (PAR/nng).