Prasasti Sangguran (Minto Stone) di Inggris Adalah Benda Diplomasi Budaya Nusantara.

Aksara – Budaya:

Rajapatni.com: SURABAYA – Rosetta Stone (Prasasti Rosetta) asal Mesir, yang dipajang di The British Museum London, menjadi penanda keberadaan Peradaban Mesir di Inggris. Prasasti Rosetta bagai sosok ambassador peradaban yang menjadi jendela informasi di Inggris. Artefak ini dikunjungi banyak wisatawan. Melalui ambassador budaya, prasasti, itu bisa mengenalkan peradaban Mesir.

Rosetta Stone di the British Museum, London UK. Foto: ist.

Hal serupa adalah hasil peradaban Nusantara seperti Prasasti Sangguran atau Minto Stone di Skotlandia dan Prasasti Pucangan (Calcotta Stone) di Kalkuta, India. Keberadaan mereka bagai alat diplomasi budaya Indonesia di negara lain.

Mereka bagaikan duta, yang bisa menjadi jendela informasi Nusantara di negara lain. Asalkan keberadaan mereka bisa dengan mudah diakses publik.

 

Prasasti Sangguran

Menurut literasi akchetron.com/ mintostone edisi 8 Oktober 2024 bahwa keberadaan prasasti Sangguran (Minto Stone) ada di Taman Prasasti Keluarga Minto di Skotlandia, Inggris Raya (UK).

Prasasti Sangguran di Taman Prasasti keturunan Lord Minto di Skotlandia. Foto: ist

Prasasti ini bentuknya lempengan batu besar dengan berat sekitar 3 ton dengan tinggii 2 meter (6,6 kaki) dengan tulisan beraksara Jawa Kuna (Kawi). Prasasti ini merupakan warisan Mataram Kuno, yang berangka tahun 928 Masehi dan ditemukan di Malang, provinsi Jawa Timur.

Pada tahun 1812, Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai letnan gubernur pulau Jawa, memindahkannya bersama dengan apa yang disebut “Kalkuta Stone” sebagai tanda penghargaan kepada atasannya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto.

Batu tersebut kemudian menjadi bagian dari tanah milik keluarga Minto di dekat Hawick, Roxburghshire, Skotlandia. Batu bertulis itu bertanggal (2 Agustus) 928 M dan menyebutkan nama seorang raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Wijayaloka), yang saat itu memerintah daerah Malang.

Pernyataan tersebut merupakan pemberian hak (sima) kepada penguasa setempat dan diakhiri dengan peringatan publik bagi siapa saja yang mencabutnya akan dapat kutukan bahwa mereka akan menemui kematian yang mengerikan (dipukuli di sekujur tubuh, hidungnya dipotong, kepalanya dibelah, hatinya dirobek, dan sebagainya). Mengerikan!.

Inskripsi beraksara Jawa Kuna (Kawi) pada Prasasti Sangguran menjadi benda diplomasi budaya di Inggris. Foto: ist.

Menurut para ahli sejarah Indonesia, salah satunya Nigel Bulogh, batu tersebut merupakan artefak penting dan sumber informasi yang krusial. Prasasti tersebut berisi unsur-unsur tentang Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dan peralihan kekuasaan yang terjadi kemudian dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Dyah Wawa (memerintah 924—929), adalah penguasa Mataram terakhir. Penggantinya, Mpu Sindok (memerintah 929—947), memindahkan istana dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada tahun 929.

Sebetulnya permintaan untuk memulangkan (repatriasi) prasasti tersebut dari Skotlandia ke Jawa, di Indonesia, telah diajukan sejak tahun 2004.

 

Kutukan

Berita kutukan dari peradaban Jawa yang tertulis pada prasasti itu tidak hanya terdapat pada prasasti Sangguran. Ada berita kutukan lainnya di tanah Jawa. Keris, yang dibuat Mpu Gandring menyimpan pesan kutukan.

Prasasti Sangguran dalam sketsa di awal abad 19. Foto: ist

Kutukan Mpu Gandring adalah kutukan yang di ucapkan oleh Mpu Gandring bahwa keris buatannya akan membunuh tujuh keturunan Ken Arok, termasuk Ken Arok sendiri. Itu fakta sejarah yang terjadi dalam era Kerajaan Singasari.

Bagaimana dengan kandungan kutukan yang ditulis pada Prasasti Sangguran bilamana ada orang yang memindahkan prasasti dari tempatnya (di Malang). Kabarnya mereka juga menerima kutukan.

Menurut literasi tempo edisi 21 Juni 2021 bahwa isi, yang terkandung pada prasasti ini, adalah penetapan Desa Sangguran sebagai sima atau tanah perdikan dan prasasti, yang menjadi tanda penetapan ini, dilarang dipindahkan dari tempat awalnya atau siapapun yang memindahkan akn menerima kutukan.

Percaya atau tidak percaya, bahwa kutukan ini diyakini sebagian orang benar adanya. Lord Minto sebagai penerima prasasti, dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur Jenderal Inggris di wilayah India dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Skotlandia. Dalam keadaan ia sakit-sakitan. Pada akhirnya, Lord Minto meninggal di tengah laut saat perjalanan pulang ke Skotlandia.

Raffles pun sebagai pemberi prasasti ini kepada Minto juga tidak bisa terhindar dari kutukan. Pada 1818, Raffles ditarik pulang dari Hindia-Belanda dan kemudian meninggal pada 1826.

Saat ini prasasti, yang dikenal dengan nama Minto Stone ini, tergeletak di taman prasasti kediaman milik keluaga turunan Lord Minto di Skotlandia.

Apakah esensi kutukan itu masih ada? Ajal manusia adalah Tuhan yang menentukan. Manusia bisa mati kapan saja jika Tuhan sudah berkehendak memanggil.

Bahwa Prasasti Sangguran adalah benda budaya, artefak dari Nusantara, adalah fakta dan benar adanya. Jika artefak itu bisa dimanfaatkan, maka artefak itu bisa menjadi benda diplomasi budaya Nusantara di manca negara, seperti halnya Prasasti Rosetta dari Mesir di The British Museum.

Bagaimana, pendapat Anda? (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *