Menulis adalah bekerja dan berjuang untuk keabadian. Rajapatni.com: SURABAYA – Berbuatlah sesuai dengan kemampuanmu dalam hal berbagi untuk sesama. Kamu bisa menulis. Menulislah. Kamu bisa mengajar. Mengajarlah. Lantas, berbagi apa? Apa saja yang memang itu bermanfaat dan baik buat sesama. Misalnya menulis tentang upaya Pemajuan Aksara Jawa, meski sesungguhnya kamu tidak bisa aksara (Jawa). Tapi melalui tulisanmu kamu turut mengembangkan aksara Jawa (ngrembakaning aksara Jawa) ꦔꦿꦼꦩ꧀ꦧꦏꦤꦶꦁꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ. Pramoedya Ananta Toer kurang lebih pernah menulis begini di novelnya, “Kamu boleh pintar setinggi langit, tapi kalau kamu tidak menulis maka kamu akan hilang dari ingatan masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian…” Sementara saya menambahkan dan berkata: “bukannya saya yang hilang dari ingatan masyarakat, tetapi yang jauh lebih penting adalah sesuatu atau objek tulisan itu akan hilang dari ingatan masyarakat. Apalah diri saya?”. Object tulisan itu, yang apalagi tentang sejarah dan jejak peradaban bangsa, maka terkuburlah sejarah dan peradaban itu. “Tetapi kalau menulis thok dan tidak pernah diterbitkan, itu akan menjadi sebuah buku, yang tulisan itu hanya akan menjadi konsumsi sendiri dan tidak begitu berdampak pada orang banyak”, demikian tulis sebuah akun FB yang menamakan “Bumi Pusaka”. Menulis adalah bekerja dan berjuang yang penuh tantangan demi keabadian. Ini karena bahwa menulis menjadi salah satu wadah untuk mengekspresikan diri, yang tidak hanya itu, melainkan menyalurkan ide, gagasan, dan bahkan wawasan agar bisa terlaksana. Misalnya sebuah komunitas yang fokus pada aksara Jawa di Surabaya konsisten menulis tentang upaya pemajuan aksara Jawa, yang awalnya Surabaya adalah NOL aksara Jawa akhirnya bisa menjelma menjadi Surabaya Beraksara Jawa, yang tidak saja berupa signage aksara Jawa di mana mana, tetapi merambah ke inisiasi terbitnya perlindungan aksara Jawa mulai dari Raperda hingga usulan menambahkan Aksara ke dalam Undang Undang. Menulis adalah tantangan, yang terkadang diabaikan oleh banyak orang. “Tapi kamu memberi dan berkontribusi dalam upaya pelestarian suatu nilai penting. Alat juangmu tidak lagi senjata api dan pena, tapi papan tombol digital”, pikirku. Maka teruslah menulis. Berjuanglah sesuai zaman. Perjuangan itu semakin berarti dan teresapi jika memang secara fisik turut melakukan tindakan pelestarian. Yaitu turut belajar Object yang diperjuangkan. “Ini adalah perjuangan lahir dan batin”, tambahku lagi. Bisa jadi orang lain akan mencibir mendengar statement ini. Tetaplah berlalu serasa memaknai sebuah peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Kisah Tan Khoen Swie atau Tân Khun-sūi 1883/1894–1953) adalah seorang penerbit Tionghoa Indonesia, yang melalui Perusahaan Penerbitan Tan Khoen Swie, menerbitkan banyak buku dalam bahasa Jawa dan Melayu. Ia lahir di Wonogiri tahun 1884 dan besar di kota kelahirannya. Ia sempat mengembara dan dalam pengembaraannya, ia berhenti di Kediri. Di kota inilah Tan Khoen Swie semakin fasih berbahasa Jawa rendah maupun tinggi. Ia mampu membaca dan menulis aksara Jawa. Ia juga tertarik pada kebudayaan Jawa termasuk budaya wayang maupun ilmu kebatinan Kejawen. Sebagaimana dikutip dari akun FB Bumi Pusaka, Tan Khoen Swie kemudian menghidupi kebudayaan Jawa tersebut dengan suka bermeditasi, puasa, berlaku vegetarian dan mempunyai minat tinggi pada hal-hal gaib dan ilmu Kejawen. orang Tionghoa berlaku Jawa. Minat kepada sastra dan kebatinan Jawa memberi ide baginya untuk mengembangkan bisnis penerbitan bernama “Boekhandel Tan Khoen Swie”, di rumah sekaligus tokonya (toko Soerabaia) di Jalan Dhaha Kediri. Bisnis itu ia didirikan tahun 1915, jadi 3 tahun sebelum Penerbit Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Melalui penerbitan itulah Tan Khoen Swie banyak menulis dan berbagi ilmu dan pengetahuan serta wawasan. Semua buku-buku Jawa, yang legendaris itu, adalah terbitan dari Boekhandel Tan Khoen Swie: – Primbon Jayabaya (Ronggowarsito) – Serat Wedhatama (Mangkunegara IV) – Serat Kalatidha (Ronggowarsito) – Serat Gatholoco – Serat Darmogandul – Serat Nitimani (ini buku kamasutra ala Jawa) – Serat Babad Kediri Di kota Surabaya sendiri di masa Pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, kaya dengan pejuang pejuang yang suka menulis. Sampai sampai di Surabaya didirikan Monumen Pers Perjuangan. (PAR/nng). - 5 September 2025 -
꧌ꦭꦺꦴꦩ꧀ꦧꦩꦼꦤꦸꦭꦶꦱꦶꦟ꧀ꦝꦃ꧍ Lomba Menulis Indah Aksara Jawa Digelar 7 September Menjelang Peringatan Hari Aksara Internasional 2025. - 3 September 20253 September 2025 -
Aksara Perlu Perlindungan Hukum Sebagaimana Bahasa, Manuskrip dan Seni. - 1 September 20251 September 2025 -