Arsitektur Tionghoa Di Pecinan Surabaya

Sejarah: 泗水 (Sìshuǐ), Bingkai Budaya Tionghoa di Surabaya.

Rajapatni.com: SURABAYA – Ketika imigran China sudah semakin mapan di Sìshuǐ (Pecinan Surabaya) pada kisaran abad 18-an, peradabannya semakin kuat. Tata masyarakat nya semakin baik. Bagai peribahasa, “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Mereka pun mulai beradaptasi dengan bumi yang baru. Meski proses adaptasi butuh waktu.

Awalnya, rumah rumah yang mereka bangun tidak jauh berbeda dari gaya arsitektur rumah rumah di negeri asalnya. Tampak simetris di bagian depan, yang umumnya ada satu pintu di tengah dan diapit oleh jendela di kiri kanan pintu. Tampilan atap rumah berbentuk pelana dengan masing masing ujung pelana lengkung meninggi lancip ke atas.

Rumah rumah berarsitektur Tionghoa di jalan Karet pada era kolonial. Foto: ist

Secara umum bentuk arsitekturnya sama antara rumah-rumah di negeri asalnya dengan rumah-rumah yang dibangun di Surabaya. Secara khusus ada pengunaan material bangunan yang bersifat lokal.

Di era abad 18, secara lokal, pada bagian lantai, trennya menggunakan tegel tegel terakota. Penggunaan tegel terakota ini mengingatkan pada sebuah kompleks permukiman di bekas kota Raja Majapahit, Trowulan, di mana di sana ditemukan tegel-tegel terakota sebagai struktur rumah Mojopahitan.

Tegel terakota ini kemudian umum dalam struktur hunian di era VOC abad 17 dan 18. Tidak hanya di Surabaya, di Jakarta pun demikian. Tegel terakota digunakan. Tidak hanya dipakai di rumah dan bangunan tradisional Pecinan, di bangunan gaya kolonial juga trennya menggunakan lantai terakota ketika lantai marmer belum digunakan.

Rumah-rumah Pecinan dengan gaya tradisional ternyata juga menggunakan tegel-tegel terakota. Di Jalan Karet sisi selatan misalnya, ada dua persil rumah tradisional Tionghoa yang menggunakan tegel terakota.

Kini, tegel-tegel itu sudah rusak dan bahkan hilang dari tempatnya. Namun pecahan dan kepingan tegel terakota masih bisa disaksikan (2023). Pun demikian dengan bangunan di Rumah Abu Han. Ada dua unit bangunan di tempat ini. Bagian depan dan belakang. Unit bangunan di bagian belakang lah yang menggunakan tegel terakota. Tegelnya masih utuh dan tertata dengan baik.

Unit bangunan di bagian belakang masih bergaya tradisional. Sedangkan unit bangunan bagian depan sudah bergaya campuran: kolonial, Jawa dan Tionghoa dari abad 19.

 

Datangnya Marga Han

Han Siong Kong (1673 – 1743) datang ke Lasem, Jawa Tengah pada kisaran awal tahun 1700-an dan meninggal pada 1743. Ia mendirikan rumah, yang masih bergaya tradisional seperti rumah rumah pada umumnya di kampung halamannya. Gaya gaya tradisional ini bisa dilihat di Lasem sebagai pusat konsentrasi Pecinan di pantai utara Jawa Tengah. Han Siong Kong memang datang di Lasem dari tanah Tiongkok.

Dapat diduga bahwa ketika keturunan Han Siong Kong, yang bernama Han Bwee Kong (1727-1778), mulai menetap di Surabaya setelah kematian ayahnya pada 1743, model huniannya tidak berbeda dari rumah-rumah di Lasem dan bahkan di Tianbau, Fujian, China.

Rumah Abu Keluarga Han menjadi jujugan pegiat sejarah. Foto; nanang

Mengamati foto-foto rumah tradisional China dari waktu ke waktu, sesungguhnya selama berabad-abad gaya arsitektur rumah adat Tionghoa tidak memiliki perubahan yang signifikan, hanya terdapat perubahan dan penyesuaian dengan lingkungan di mana rumah itu dibangun. Semisal ketika rumah-rumah itu dibangun di Surabaya, maka ada unsur-unsur lokal yang digunakan karena ketersediaan material bangunan.

Di komplek Rumah Abu Han, jika diamati secara fisik dengan seksama, memang terdapat dua unit bangunan, yakni bagian depan dan belakang. Kedua unit bangunan ini sama sama berarsitektur Tionghoa. Cuma, unit bagian depan sudah ada pengaruh lokal dan zaman.

Menurut Robert Han, pewaris rumah nenek moyang marga Han di Surabaya bahwa rumah Abu Han di jalan Karet ini menyimpan perpaduan nilai kultural: Tionghoa, Jawa dan Kolonial.

Sifat-sifat etnis itu tampak pada gaya arsitekturnya. Misalnya dengan menampilkan pilar-pilar baik di teras depan maupun di bagian ruang dalam yang bergaya Eropa. Tiang besi cor diimport dari kota Glasgow, Inggris. Pilar beton di teras depan bergaya Indis (Grandeur). Lantai dari batu marmer Italia. Penggunaan kayu untuk risplang bergaya bangunan kraton (Jawa). Ukiran ukiran ornamen kayu membawa sifat Tionghoa.

Gaya campuran ini memang sesuai dengan masa, kapan bangunan ini dibuat. Menurut Claudia Salmon, bangunan utama Rumah Abu Han dibangun pada 1870-an, di mana gaya arsitektur Indis menjadi tren.

Ketika keluarga marga Han pada masa itu bisa menghadirkan gaya arsitektur dan material bangunan yang kualitas super, dapat diduga bagaimana latar belakang sosial dan ekonominya.

 

Tetenger Leluhur

Bisa membangun rumah yang kokoh dan bisa langgeng menembus zaman adalah beaya mahal. Namun, berapapun biayanya, keluarga Han kala itu sudah punya keinginan menancapkan tetenger agar diketahui oleh generasi penerusnya.

Sesungguhnya, tidak hanya keluarga Han saja yang mampu menancapkan tetenger di Jalan Karet. Ada marga lainnya juga, yaitu marga The dan Tjoa.

Pun masih ada marga lainnya, tapi mereka tidak meninggalkan tetenger bagi penerusnya seperti halnya keluarga Han, The dan Tjoa. Salmon dalam sebuah artikelnya menyebut bahwa ada marga lain selain Han, The dan Tjoa, yakni Lim, Lio, Tan, Ong, Oey,L ee, Lauw, Kang, Gouw dan Cia. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *