Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Di kota Surabaya pernah ada dua penjara. Pertama, yang lebih lama dan tua, adalah penjara Kalisosok di Kawasan Kota Lama (Benedenstad). Berdasarkan plakard cagar budaya Kali sosok mulai ada pada 1840 an.

Sementara penjara lainnya, yang lebih baru, adalah Penjara Bubutan atau yang lebih dikenal dengan nama Penjara Koblen. Koblen berasal dari kata Bahasa Belanda, Kobbelsteen, yang artinya batu. Maka jadilah Penjara Batu. Lokasinya ada di Kota Baru (Bovenstad).

Kini eks Penjara Koblen, statusnya juga menjadi cagar budaya. Jika dibandingkan antar keduanya, maka eks Penjara Kalisosok secara fisik lebih lengkap strukturnya. Selain masih ada tembok, juga masih ada. bangunan sel selnya. Sementara Eks Penjara Koblen hanya menyisakan tembok penjara.
Perbandingan lainnya akses ke Eks penjara Koblen jauh lebih mudah termasuk akses berkomunikasi dengan pengelolanya. Sementara Akses ke eks Penjara Kalisosok, apalagi ke pengelolanya, sangat sulit.
Karena aksesibilitas ini menentukan untuk mengetahui bagaimana nasib kedua bangunan cagar budaya ini ke depan, maka nasib eks Penjara Koblen jauh lebih terang daripada eks Penjara Kalisosok.
Komunikasi dengan pengelola eks Penjara Koblen juga lebih mudah. Apalagi di eks penjara Koblen masih ada aktivitas sosial dan ekonomi. Bahkan belum lama lagi akan ada aktivitas budaya. Maka nasib eks penjara Koblen menjadi semakin terang dan jelas.
Melalui kegiatan Lomba Sketsa, yang digagas oleh komunitas, publik semakin mendapat akses untuk melihat kondisi eks Penjara Koblen lebih dekat dan ini bisa membuka peluang untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan bahkan penelitian serta pariwisata.
Melalui kegiatan edukatif lomba seni, masyarakat bisa belajar tentang sejarah penjara Koblen sebagai infrastruktur kota Surabaya. Bahwa keberadaan penjara Koblen adalah sebagai dampak dari adanya perkembangan kota Surabaya di abad 20.
Dalam perkembangan kota Surabaya itu sendiri, masyarakat juga dilibatkan dalam sumbangsih pemikiran dan pengembangan eks Penjara Koblen. Pada tingkat awal ini, setidaknya masyarakat bisa diajak untuk melihat dan berkreasi berdasarkan visualisasi nyata tembok Koblen. “Tembok Koblen” menjadi tema dalam sebuah ajang lomba sketsa, yang diadakan dalam rangka peringatan HUT ke 732 Kota Surabaya.
Dari Lomba Sketsa tembok Koblen, selanjutnya adalah lomba desain eks Penjara Koblen. Rencana lanjutan dari lomba sketsa ke lomba desain ini juga merupakan bentuk aksesibilitas dan keterbukaan informasi serta kolaborasi mutual antara beberapa sektor demi pembangunan kota Surabaya.
Karenanya, ketika tujuan kegiatan yang bertitik di eks penjara Koblen untuk menunjang pembangunan kota Surabaya, maka harus ada keterlibatan unsur pentahelix (pemerintah, swasta, komunitas, akademisi dan media) demi bersama pembangunan kota sesuai dengan aturan aturan yang ada.
Dari frame kolaborasi yang mutual, semua pihak akan dapat manfaat sesuai porsinya. Dengan begitu, pembangunan akan terasa lebih ringan bagai sebuah peribahasa lama “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
“Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” memiliki arti beban yang berat akan terasa lebih ringan jika dilakukan bersama-sama, dan hal yang ringan akan terasa lebih mudah jika dikerjakan bersama-sama. Peribahasa ini mengandung makna tentang semangat gotong royong, kerja sama, dan kebersamaan dalam menyelesaikan tugas atau masalah. (PAR/nng)