Warga Belanda Bawa Cita Rasa Nusantara ke Belanda.

Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Perhatian sebagian warga Belanda dan pemerintah Belanda terhadap warisan bangsa Indonesia bukan isapan jempol. Mereka begitu mendalami dan mengerti makna dan arti filosofi, yang terkandung dalam benda benda warisan Nusantara itu. Bahkan di sebagian warga Belanda, budaya Nusantara sudah mendarah daging.

Perhatian itu tidak sekedar, yang dapat kita baca dari sumber sumber literasi dan sejarah dari masa lalu.

Di masa sekarang kita masih bisa menyaksikan itu. Mereka peduli dengan warisan budaya Nusantara. Apalagi bagi mereka yang memiliki sambungan sejarah dengan buyut dan moyang yang berasal dari darah Nusantara. Perhatian warga blasteran (indo) ini bahkan melebihi warga asli dan tulen Indonesia.

Di kota Hilversum misalnya ada rumah panti jompo yang bernama “Patria”. Isinya para manula blasteran. Ada wajah Indonesia dan ada pula wajah Belanda. Tapi mereka blasteran indo Belanda.

Mereka (warga indo) bisa mempraktikkan budaya Indonesia dalam kegiatan sehari hari dan bahkan menjadikan kegiatan itu menjadi sumber ekonomi.

Seorang penyanyi terkenal Belanda kelahiran Surabaya, Wieteke Van Dort, adalah contoh. Karya karya seninya mulai musik, buku cerita dan seni panggungnya, 100 persen bernuansa Nusantara: keindahan alam dan eksotika budaya Nusantara.

Wieteke Van Dort adalah seniman Indo-Belanda, yang lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Indonesia, serta sangat mencintai tanah kelahirannya tersebut. Pengalamannya yang dibesarkan dengan dua budaya, Indonesia dan Belanda, tercermin dalam karya-karyanya melalui penggunaan bahasa Indonesia, tema-tema tentang kerinduan pada Hindia Belanda, serta penggambaran suasana dan budaya Indonesia dalam musik dan aktingnya.

Wieteke Van Dort dan Michiel Eduard tampil pasar malam Tong Tong Belanda. Foto: mich

Ada lagu “Geef Mij Maar Nasi Goreng”, “Ajoen Ajoen”, “Terug naar Soerabaja” dan masih ada lainnya.

Wieteke Van Dort sudah tiada. Ia lahir di Surabaya pada 16 Mei 1943 dan wafat di Den Haag pada 15 Juli 2024.

Ketika Wieteke Van Dort meninggal, anak angkatnya yang sekaligus penulis lagu dan produser musiknya, Michiel Eduard, sedang berada di Surabaya dan bertemu dengan penulis di Hotel Majapahit pada 18 Juli 2024. Ia menyampaikan bahwa sedianya ia juga tengah mempersiapkan show-nya Wieteke di Bali. Tapi gagal.

Michiel dan penulis bertemu di hotel Majapahit pada Juli 2024. Foto: dok

Selain Wieteke Van Dort, Michiel Eduard juga termasuk warga indo Belanda yang menaruh perhatian besar terhadap budaya Indonesia. Dalam aktivitas sehari-hari Michiel, yang menjabat peran sosial sebagai Ketua Yayasan Stichting Anak Mas, sebuah organisasi amal di Belanda, banyak memiliki dan melakukan kegiatan sosial di beberapa kota di Indonesia.

 

Bawa Cita Rasa Indonesia ke Belanda

Rasa Nusantara di Belanda. Foto: FB torajahouse

Tidak cuma di Indonesia, Michiel membawa nama Indonesia dan cita rasa Indonesia di kotanya, Leiden, dalam wadah usaha kuliner yang bernama “Toraja House”. Toko ini menyediakan aneka masakan Indonesia. Tidak cuma masakan, ia juga membawa warna bendera Indonesia pada dekorasi tokonya. Selain itu ia juga mempekerjakan orang Indonesia di restoran yang bernama Toraja House, sehingga ketika pelanggannya masuk ke Toraja House ini terasa datang ke Indonesia. Michiel “membawa” Indonesia ke Belanda.

Tamu tamu ramai di depan restoran Toraja House. Michiel paling kiri. Foto: mich

Sebagai pencipta lagu, ia pun menulis lagu lagu tentang dan bernuansa Indonesia. Sebuah lagu yang berjudul “Surabayaku” telah diciptakan dan pernah dinyanyikan berdua dengan Wieteke Van Dort. Lagu berikutnya adalah lagu bergenre keroncong yang berjudul “Dewi Melati”. Lagu “Dewi Melati” ini sesuai rencana akan dilantunkan dalam acara peluncuran buku “Bung Bebek en de Princess” di Surabaya pada awal bulan November 2025.

Ngobrol di depan Toraja House. Ada Wieteke diantara pelangan. Foto: FB torajahouse.

Cerita Bung Bebek yang ditulis Wieteke Van Dort ini berlatar belakang suasana pedesaan di Jawa. Yang menarik dari sisi literasi adalah buku ditulis dalam bahasa Belanda dan transliterasi dalam aksara Jawa. Fakta ini menjadi wujud perhatian Wieteke Van Dort (almarhum) dan Michiel Eduard. Apalagi buku tulisan Wieteke dan diterbitkan Michiel ini akan dibagikan gratis dalam jumlah terbatas (limited numbers).

 

Kolaborasi

Tidak cukup sampai di sana kegiatan Stichting Anak Mas, Michiel Eduard berkomitmen terus berjalin kerjasama dengan organisasi yang sevisi dalam pemajuan budaya dan sejarah. Di Surabaya, yang kelak bisa mewakili Indonesia, ada Komunitas Puri Aksara Rajapatni dalam ikatan sejarah dan budaya bersama (shared history and culture).

Kolaborasi ini tidak sekedar antar dua organisasi Stichting Anak Mas dan Puri Aksara Rajapatni saja, diharapkan bisa terwujud Kolaborasi Pentahelix, yang melibatkan Lima Unsur yaitu Pemerintah, Swasta, Komunitas, Media dan Akademisi.

Tukar menukar informasi juga sudah dimulai antara Surabaya dan Belanda. Semakin lima unsur Pentahelix ini terpenuhi oleh pihak lokal, berarti ini turut menunjukkan peran aktif lokal dan bahkan nasional ke kancah global dalam menerjemahkan makna pelestarian warisan bangsa.

Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon dalam kaitan repatriasi artefak dari Belanda ke Indonesia menegaskan, bahwa pengembalian artefak bukan hanya soal pemulangan benda fisik, tetapi juga pemulihan identitas bangsa. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *