Aksara Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Sebuah buku cerita anak yang berjudul “Bung Bebek en de Princess” segera diluncurkan di Surabaya. Buku ini merupakan perpaduan literasi Barat dan Timur.
Buku ini dicetak berbahasa Belanda, yang ditransliterasi dalam aksara Jawa yang berbahasa Indonesia. Buku ini adalah karya tulis Wieteke Van Dort, penyanyi terkenal di Belanda yang kelahiran Surabaya. Wieteke Van Dort sudah berpulang pada 2024 lalu. Namun karya tulis ini belum sempat dipublikasikan.
Kemudian tulisan Wieteke ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Michiel Eduard selaku ketua Stichting Anak Mas di Belanda yang juga menjadi anak angkat Wieteke Van Dort. Dari hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia itu lantas di transliterasi dalam aksara Jawa. Sehingga buku ini tercetak dalam dua aksara. Aksara Latin untuk bahasa Belanda dan aksara Jawa untuk bahasa Indonesia.
Sehingga buku ini menjadi perpaduan budaya dan literasi Eropa dan Jawa. Di balik buku ini selain ada nama Michiel Eduard, yang juga diketahui akrab dengan Wieteke Van Dort, karena sebagai penulis lagu lagu Wieteke dan produser musik Wieteke, Michiel Eduard dianggap sebagai anak angkat Wieteke Van Dort, juga ada nama Ita Surojoyo yang mentransliterasi ke aksara Jawa. Juga ada nama Rik van der Burg, yang membuat ilustrasi buku.
Buku ini berkisah tentang seorang Putri yang teguh dan kuat dalam pendirian hidup. Atas pertemuannya dengan Bung Bebek, Sang Putri berhasil menemukan jalan hidupnya.
“Wieteke Van Dort semasa hidupnya mulai remaja hingga dewasa itu cinta Indonesia termasuk Surabaya. Itu terlihat dari busana kebaya yang ia kenakan dan lagu lagu yang ia bawakan. Ada lagu Ajoen Ajoen tentang kampung Pesapen Surabaya dan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng tentang kuliner Nusantara. Karena itu untuk mengenang beliau, saya terbitkan hasil tulisan beliau yang kami beri judul Bung Bebek en de Princess”, jelas Michiel Eduard, ketua Stichting Anak Mas Belanda.
Buku ini dikemas menarik secara visual dengan ilustrasi bercorak budaya Jawa. Misalnya sang tokoh, Dewi Melati digambarkan berbusana kebaya dengan setting tanah Jawa yang diwakili dengan ilustrasi persawahan.
Kemasan buku memang disesuaikan dengan target utama. Yaitu anak anak dengan gambar gambar berwarna.
Selain cerita ini bertutur tentang nilai nilai pendidikan, kejujuran, berani dan pantang menyerah, penggunaan aksara Jawa adalah cerminan budaya literasi sebagai identitas bangsa Indonesia.
Melalui buku ini anak anak diperkenalkan dengan aksara Jawa. Setidaknya mereka bisa melihat aksara Jawa sebagaimana pendekatan yang digunakan oleh komunitas aksara Jawa Puri Aksara Rajapatni dalam memperkenalkan aksara Jawa di Surabaya.
“Jadi kami menggunakan pendekatan Kemata, Kewaca, Ketata dan Kerasa”, kata Ita Surajoyo.
Kemata (terlihat mata), Kewaca (terbaca), Ketata (tersusun, bisa menyusun kata kata baik manual serta digital) dan Kerasa (terasa, dapat merasakan makna kata, frasa dan kalimat yang tersusun dalam aksara Jawa.), demikian penjelasan dari A. Hermas Thony selaku pembina Puri Aksara Rajapatni, yang juga inisiator Raperda Pemajuan Kebudayaan Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya.
Penerbitan buku cerita anak “Bung Bebek en de Princess” ini adalah bentuk upaya pemajuan literasi dan aksara Jawa di Surabaya dan sekaligus bukti kerjasama Belanda Surabaya guna mendukung kerjasama Indonesia Belanda. (PAR/nng).
