Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Entah ini kasebut apa lagi, ilusi atau fatamorgana. Ia tinggal tinggi di atas awan sana di Pelinggih Pawitra, tempat para Dewa Dewi yang berkalang Tamansari. Sementara ku jauh di bawah di sini, yang masih menapak kerikil tajam dan semak berduri. Ada tirai tipis luas membentang, namun masih tembus pandang.

Ku bisa merasa yang di atas sana. Sang putri sedang menunggu seorang diri dalam wujud candi Putri. Ia menyendiri di antara belantara Taman sari, yang indah dan harum beraroma dupa.
Mahkota Dewa
Ku tatap ketinggian di atas awan itu dari kejauhan. Bentuknya indah mengerucut menggapai langit yang bermahkota awan lentikular atau umum disebut awan topi.

Secara ilmiah, awan ini terbentuk ketika udara lembab bergerak melewati gunung, terdorong ke atas, dan mengembun karena pendinginan udara di ketinggian.
Di bawah mahkota lentikular itulah Sang Puteri berdiam diri memandang lembah, yang berenda bibir pantai. Pantai dan gunung adalah wujud kontradiksi sebagai perlambang alami bumi.
Kontradiksi ini disebut oposisi biner, sebuah teori strukturalisme dan sering digunakan untuk menjelaskan konsep pasangan, yang saling bertentangan, seperti: Baik dan buruk, Siang dan malam, Cinta dan benci serta Surga dan neraka.
Namun keduanya bagai satu kesatuan dalam kendang yang dua sisi itu saling melengkapi bejana silinder, yang jika ditabuh memberikan suara ritmis yang pegang kendali atau irama.
Irama memang sangatlah penting dalam lagu karena berfungsi sebagai penggerak utama, menentukan tempo (cepat lambatnya lagu), memberi struktur komposisi, dan mengatur naik turunnya nada.
Itulah Pelinggih Pawitra yang menjadi ibarat Gunungan wayang, yang menjadi simbol alam semesta dan siklus kehidupan. Gunungan melambangkan keadaan dunia yang berisi berbagai unsur seperti angin, air, dan api, serta perjalanan hidup manusia dari awal hingga akhir.
Sang Putri, Candi Putri, itu ada di panggung kehidupan Pawitra. Jalan jauh kan ku lalui, semak belukar dan jurang jurang dalam bukan aral lintang, meski jalan juga harus mendaki.

Sebelum melangkah bayang bayang ketakutan bagai hantu di depan mata. Mendaki Pawitra bagai sebuah tugas mulai selama sebulan di bulan Ramadhan, yang panas menyengat di Gurun Hejaz dengan suhu udara yang bisa melonjak di atas 50 derajat Celcius. Awalnya memang ragu, tetapi tugas bisa terlaksana tanpa ada Beaya, meski serupiah.

Pawitra itu indah dan penuh makna. Rela pula ku mendaki. Panas di Arab Saudi, sejuk di Pawitra. Berikut untaian sajak yang menyertai ilusi dan fatamorgana.
Pawitra
Mengalir jernih meneropong bumi, Meniti setapak ikuti curam dan mendaki, Disanalah teruntai ciptaan Ilahi. Ragam kehidupan yang berekologi dan ber-akeologi.

Mereka serasi dan mau berbagi. Tolong menolong atas dasar naluri. Keseimbangan indah dan saling mengerti. Karena menyadari sebagai ciptaan Ilahi.
Rimbun menghijau berdiri tinggi. Teduh menyelimuti bumi pertiwi. Di sanalah rumah para dewa dewi. Istana Pawitra yang menjulang tinggi.
Jejak peradaban berjajar rapi. Menghadap pelinggih sang Hyang Widhi. Di antaranya adalah Candi Putri. Puri bagi si jelita yang baik hati.
Tamanmu indah penuh warna. Mahkotamu bercahaya bagai pelangi dan awan topi. Layak bagimu sang penanggung. Karenanya warga menyebut mu Penanggungan. (PAR/nng)