Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Dari sekian kuburan orang orang Eropa, ada satu yang menyimpan dan memberi gambaran Surabaya di abad 18, alias tahun 1700-an.
Artefaknya masih ada. Yaitu nisan yang terbuat dari kayu. Ini satu satunya nisan yang terbuat dari kayu. Semua kuburan misalnya ribuan kuburan di Pemakaman Eropa Peneleh, semuanya bernisan marmer, batu granit dan besi cor.

Yang satu ini terbuat dari kayu dan barangnya masih awet dan utuh. Itu adalah nisannya Gezaghebber Abraham christoffer coertsz, seorang pejabat VOC yang berkantor di Surabaya.
Ia lahir pada 13 Februari 1707 dan meninggal pada 1 Januari 1763. Di saat kematian Abraham Christoffel Coertsz itulah (1763), batu nisan dan lambang kematiannya dibuat. Bahannya kayu. Kini bukti batu nisan dan lambang kematian itu tersimpan di GBIP Immanuel di jalan Bubutan, Surabaya.

Nisan kayu itu pindahan dari kuburan lama di lingkungan gereja protestan di Kota Lama Surabaya. . Meski terbuat dari kayu, tapi masih awet.
Selain terdapat nisan kayu sebagai perlambang kematian Abraham Christoffel Coertsz, yang hingga kini tersimpan di gereja GPIB Immanuel Bubutan Surabaya, di tempat itu juga masih ada nisan yang terbuat dari granit. Tidak diketahui apakah nisan granit itu juga bawaan dari Kota Lama. Diduga demikian.
Secara fisik batu nisan Abraham Christoffel Coertsz yang terbuat dari batu granit itu memiliki ukuran lebar 1 meter panjang 2 meter, yang terjemahannya berbunyi: “Disini beristirahat Tuan Abraham Christoffel Coertsz, Kepala Dagang dan Gezaghebber di Ujung Timur Jawa, 1 Januari 1763, dalam usia 55 tahun 10 bulan 18 hari”. Nisan ini awalnya berada di dalam gereja, di bawah sebuah tangga, tapi sekarang ditempatkan di luar gedung gereja.

Sementara Lambang Kematian Coertsz berupa ukiran kayu tiga dimensi yang sangat indah, bermotif bunga dengan simbol tengkorak dan penampang bertulis yang terjemahannya berbunyi: “Abraham Christoffel Coertsz, seorang Kepala Dagang dan Gezaghebber Ujung Timur Jawa. Lahir pada 13 Februari 1707, Wafat 1 Januari 1763″.
Dua bukti dari abad 18 atau di era VOC ini berasal dari lingkungan gereja tua di kota lama Surabaya (Benedenstad van Soerabaia), yang kemudian dipindahkan ke gereja baru Bubutan, yang kala itu bernama ” Hervormde Kerk” atau Reformed Church pada 1920 ketika mengawali pembangunan gereja Bubutan sebagai gantinya gereja lama.
Gereja yang ada di wilayah kota lama Surabaya adalah gereja Protestan pertama di Surabaya yang didirikan oleh Abraham Christoffel Coertsz pada 1759. Gereja lama ini tepatnya berada di pojokan Hereenstraat (sekarang jl Rajawali) dan Willemplein (sekarang Taman Sejarah). Lebih pas lagi adalah di sisi selatan gedung Internationale. Waktu itu gedung Internationale lama terpisah dari bangunan gereja Protestan ini.

Sejak dibangunnya gereja, jemaat gereja belum pernah didatangi oleh pendeta dari pusat. Maklum jumlah jemaat sangat kecil. Namun seorang pendeta terkenal dari Batavia, Franscois Valentijn, sempat berkunjung ke gereja. Kunjungan Pendeta Valentijn ini menjadi peristiwa yang sangat langka.
Selama berkunjung ke gereja kota lama Surabaya ini, pendeta Valentijn sempat memberikan pelayanan pembaptisan. Mereka yang dibaptis adalah orang orang pribumi.

Seiring dengan berjalannya waktu, gereja yang secara fisik menghadap ke sebuah kali kecil di tepi jalan Hereenstraat (sekarang jalan Rajawali), semakin lama kondisinya semakin buruk. Apalagi ketika masuk era Gubernur Jendral Daendels, gereja lama ini sempat dipakai untuk memproduksi mata uang DUIT, pabrik duit mulai 1808 hingga 1815.
Tahun 1840, majelis gereja memandang bahwa gereja kota lama ini sudah semakin tidak memadai untuk menampung bertambahnya jemaat. Pada tahun itu jumlahnya sudah sekitar 300. Karenanya pada 19 Mei 1841 gereja menerima bantuan untuk perluasan gereja. Dengan berbagai persiapan, akhirnya perluasan dan pembangunan dilakukan pada 1843 dengan dana sebesar f 2500 gulden.
Meski telah diperbaiki, namun kondisi lingkungan sangat tidak mendukung. Apalagi gereja persis berada di depan sebuah parit yang kondisinya juga semakin jelek. Buruknya lingkungan ini berimbas pada gereja baik secara fisik maupun secara non fisik, kepada jemaatnya. Pada tahun tahun berikutnya, antara penurunan kualitas gereja dan perbaikan gereja selalu berkejar kejaran.
Dalam kondisi yang mengenaskan, gereja tetap memberikan pelayanan hingga pelayanan terakhir pada 31 Desember 1920, ketika gereja baru di bovenstad dibangun di Bubutan dengan nama Hervormde Kerk.
Kuburan Abraham Christoffel Coertsz
Pendiri gereja Protestan pertama, A.C. Coertsz yang meninggal (1763) 4 tahun setelah pendirian gereja (1759) diduga dimakamkan di lingkungan gereja. Ketika gereja baru, Hervormde Kerk di Bubutan dibangun pada 1920, makam Coertsz dipindahkan dari gereja lama di jalan Rajawali (benedenstad) ke gereja baru di Bubutan (bovenstad).
Hingga kini tetenger berupa batu prasasti dan lambang kematian masih tersimpan di gereja yang kini namanya menjadi GBIP Immanuel. Sayang banyak pihak tidak mengetahui penanda sejarah penting dari seorang pendiri gereja Protestan pertama di Surabaya.

Lambang kematian dari A.C. Coertsz tercantol pada tembok di bawah tangga. Sedangkan batu prasasti berada di luar samping kiri gereja yang tersembunyi.
Sekarang sudah banyak gereja protestan di Surabaya. Tapi hanya satu yang pertama yaitu gereja kota lama, lalu gereja kedua adalah gereja Hervormde di Bubutan dengan bukti bukti dari abad 18 di era VOC. (PAR/nng).