Sejarah Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II Yogyakarta berkunjung ke Surabaya dan bertemu tokoh tokoh penggerak Budaya Surabaya, yang diantaranya ada A. Hermas Thony, pembina Puri Aksara Rajapatni; Nanang Purwono, Ketua Puri Aksara Rajapatni; Novita, sekretaris Puri Aksara Rajapatni; budayawan Kristanto Wibisono dari Gelang Nusantara beserta Seniman dan Budayawan Pandji, serta Pemuka Budha Winarto.
KGPAA Mangku Alam II dikenal sebagai Ketua Dewan Pendiri Masyarakat Adat Nusantara (Matra), sebuah organisasi yang mewadahi ratusan kerajaan, kesultanan, dan lembaga adat dari seluruh Indonesia. Bagi kebanyakan orang, banyaknya kerajaan, kesultanan, dan lembaga adat yang ada ini terasa awam. Tapi ini fakta dan sekaligus mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah bangsa Indonesia.
Namun jangan dibayangkan keberadaan kerajaan kerajaan yang masih ada saat ini seperti kerajaan Mataram di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Ada lho raja, yang keberadaan sosial ekonominya sebagai tukang tambal ban dan lapaknya saja masih menyewa”, jelas KGPAA Mangku Alam II ketika berdiskusi budaya di sebuah hotel di jalan Sumatra Surabaya pada Jumat malam (10/10/25).
Karenanya organisasi nirlaba MATRA, (Masyarakat Adat Nusantara) hadir untuk menjaga, melestarikan dan mengembangkan adat serta budaya Nusantara agar tidak tergerus zaman. MATRA didirikan pada 13 Agustus 2016.
Kehadiran Matra ini dengan pemikiran sebagai pilar perekat adat dan budaya nusantara, yang terdiri dari beragam suku dan budaya. Matra melibatkan para raja Nusantara, Sultan dan pemerhati serta Pelaku Budaya Nusantara untuk menjadikan Budaya sebagai modal pengembangan tingkat ekonomi Masyarakat, dengan mengedepankan pengembangan Ekonomi Kreatif berbasis Budaya dan Pariwisata berbasis budaya.
Dalam beberapa artikel terakhir oleh Rajapatni.com, Puri Aksara Rajapatni memandang perlunya kekuatan media (pers Perjuangan) yang berpihak pada kebudayaan sehingga hadir Pers Perjuangan Kebudayaan demi pembangunan yang bisa berbasis pada kebudayaan.
Hal ini selaras dengan MATRA bahwa budaya adalah modal dasar, yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan untuk peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara luas. Tentu saja Pemanfaatan ini harus dilakukan dengan menjaga nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang terkandung.
Kadipaten Surabaya
Menurut Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II bahwa di Surabaya pernah ada sistem pemerintahan Kekadipatenan dan pernah menjadi satu wilayah yang kuat dan mandiri. Namun akhirnya jatuh ke tangan Mataram pada 1625 dan selanjutnya beradministrasi di bawah pengaruh Mataram. Ketika itu Kadipaten Surabaya di bawah kepemimpinan Adipati Jayalengkara.
Berangkat dari data historis ini, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II ingin melacak jejak Kadipatenan Surabaya karena riwayat Surabaya ini menjadi kekayaan Nusantara yang secara internal penting bagi Surabaya sendiri.
Harapan ini sekaligus menjadi penyemangat khususnya komunitas Puri Aksara Rajapatni dan tentunya pemerhati sejarah dan budaya lainnya di Surabaya untuk melakukan penelusuran.
Penelusuran ini punya muara sebagaimana tujuan MATRA.Yaitu pelestarian budaya tradisional, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat adat, dan penguatan identitas bangsa di tengah globalisasi.
Surabaya tidak hanya beridentitas sebagai sebuah pemerintahan kota, tapi pernah menjadi pemerintahan kabupaten dan bahkan kadipaten.
“Bukti bukti Surabaya sebagai bentuk pemerintahan klasik masih ada seperti kuburan para bupati dan bekas kantor pemerintahannya” jelas Nanang Purwono, Ketua Puri Aksara Rajapatni.
Masyarakat Surabaya harus mengerti sejarah ini. Ini adalah fakta dan fakta ini harus diinformasikan. Apalagi jejak alun alun sebagai bagian dari konsep tata ruang klasik kota Jawa masih ada di Surabaya.

“Ini fakta data berdasarkan peta lama Surabaya bahwa komplek alun alun tertulis pada peta itu”, kata A. Hermas Thony sambil menunjukkan peta yang tersimpan di ponselnya kepada KGPAA Mangku Alam II.
Berdasarkan referensi data dan petunjuk faktual, maka sesungguhnya sejarah Kadipaten Surabaya bisa dilacak.
Pada kesempatan itu, Thony juga menjelaskan giat pelestarian Aksara Jawa di Surabaya, yang salah satunya melalui usulan dimasukkannya Aksara dalam Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya, sebuah bakal Peraturan Daerah yang akan diberlakukan di Surabaya.
“Bagaimana kita bisa memajukan Manuskrip sebagai salah satu dari 10 OPK, yang tertulis dalam aksara daerah, jika tidak mengerti aksara daerah seperti aksara Jawa itu sendiri”, tambah Thony, yang menggarisbawahi pentingnya Pemajuan Aksara.
“Bahasa itu kan lambang bunyi, lisan. Sementara Aksara adalah lambang tulis”, tambah Thony.

Terkait dengan pemajuan aksara, disampaikan pula adanya gagasan Jambore Aksara Nusantara.
Hal ini mendapatkan respon positif dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II Yogyakarta.
“Minggu depan akan ada pertemuan MATRA di Lamongan, nanti kita bicarakan dengan para pimpinan DPW MATRA”, pungkas KGPAA Mangku Alam II sambil mengundang. (PAR/nng).