Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Belum pernah ada (setidaknya belum pernah melihat) prasasti masjid seperti prasasti di masjid kemayoran Surabaya. Prasasti ini terbuat dari bahan logam 100 persen mulai dari aksara, lembar tempelan dan bingkai. Istimewa. Sampai sampai pembuatnya, Van (Johannes) Willem Bartholomeus wardenaar, menegaskan pada tulisan prasasti beraksara Jawa itu dengan kata “Ayasa” (Sansekerta) yang berarti terbuat dari logam.

Selama itu, setidaknya hingga prasasti itu dibuat pada 1848, belum ada prasasti terbuat dari bahan logam seperti di masjid Kemayoran. Semuanya terbuat dari batu, kayu dan lempengan logam.
Pada kalimat pertama, yang berbunyi “Punika sih peparingipun Kanjĕng gubernemen Londo dumateng sa rupining bangsa Islam” yang berarti “ Ini (masjid) benar benar pemberian Tuan Pemerintah Belanda kepada segenap umat Islam”, yang selanjutnya diikuti oleh kalimat yang menyebut Bupati Surapringga dan Residen Surapringga. Artinya adalah segenap umat di Surapringga (sekarang Surabaya).
Terhadap benda prasasti, yang amat berarti itu, menurut A Hermas Thony adalah jimat. “Prasasti itu adalah Jimat”. Pernyataan itu disampaikan dalam sambutan pembukaan lomba menulis indah aksara Jawa di masjid Kemayoran Surabaya pada Minggu pagi (7/9/25).
Saking pentingnya prasasti yang dibuat tahun 1848 M, Thony mengkonotasikan bagaikan “jimat” (siji kudu dirumat). Diduga Prasasti semacam adalah satu satunya di Hindia Belanda (Indonesia kala itu).
Sementara dalam arti sebenarnya jimat adalah benda, yang dipercaya memiliki kekuatan magis atau religius untuk memberikan perlindungan, mendatangkan keberuntungan, atau memberikan manfaat lain kepada pemiliknya.
Menurutnya kekuatan “magis” atau “religius” adalah kekuatan hukum. Memang wasiat memiliki kekuatan hukum di Indonesia karena diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Sementara Wasiat sendiri adalah pernyataan kehendak sah seseorang (pewaris), yang dibuat semasa hidupnya dan akan berlaku setelah ia meninggal dunia. Wasiat berisi pengaturan harta peninggalan kepada orang atau pihak lain (penerima wasiat), dan dapat dicabut kembali kapan saja sebelum pewaris meninggal dunia.
Selain itu wasiat dapat juga merujuk pada pesan kebaikan, pemberian harta, atau tugas yang akan dijalankan setelah seseorang meninggal. Prasasti Masjid Kemayoran itu secara formal diterbitkan oleh tiga pejabat negara mulai Bupati Surapringga (Surabaya), Residen Surapringga (Surabaya) dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Sementara itu sebuah prasasti, yang umumnya merupakan benda peninggalan masa lalu, memiliki kekuatan hukum pada masanya karena pada zaman dahulu prasasti berfungsi sebagai dokumen resmi, yang dikeluarkan oleh penguasa atau pejabat tinggi.
Berdasarkan pemahaman itu maka harus disadari secara kolektif bahwa pesan yang tersurat dalam prasasti itu penting. Pesannya mengandung amanah. Yaitu kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan seseorang (tiga pejabat negara) kepada umat agar menjaga, merawat dan memanfaatkannya (memakmurkannya).

Karenanya peserta menulis indah aksara Jawa di Masjid Kemayoran diajak melihat prasasti yang tertempel di dinding dalam masjid. Tulisan prasasti itulah yang telah disalin dalam teks sebagai acuan menulis indah.

Agar para peserta memahami pesan prasasti, setiap peserta selain mendapatkan lembar yang berisi teks aksara jawa, juga mendapat lembar yang berisi Transliterasi dan translasi. (PAR/nng).