Gapura Munggah Berelief Rempah Rempah dan Berinskripsi Aksara Jawa Butuh Perhatian. 

Aksara:

Rajapatni.com: SURABAYA – Shohib, warga setempat peduli cagar budaya. Ia menginformasikan pengamatannya terhadap kondisi sebuah bangunan gapura kuno di komplek Sunan Ampel. Shohib yang tinggal di Kampung Pabean Sayangan. melihat gapura Ampel itu khususnya yang berdiri menghadap ke jalan Sasak.

“Ini kondisi gapura munggah, terlihat banyak ditumbuhi rumput liar di dinding ornamen gapura”, lapornya ke media ini.

Foto hasil jepretan warga yang prihatin atas kondisi gapura Ampel. Foto : hib

Shohib menceritakan itu sambil mengirimkan dua foto yang menggambarkan kondisi gapura. Tetumbuhan liar ini bisa berpotensi merusak tembok yang berelief jenis rempah-rempah.

Menurut Profesor Suparto Wijoyo, dosen pasca sarjana Universitas Airlangga bahwa relief rempah rempah pada badan gapura itu adalah wujud legitimasi produk produk perkebunan Nusantara, baik yang berasal dari pedalaman Jawa maupun dari timur Nusantara di mana Surabaya menjadi simpul pertemuan sebagai kota pelabuhan antar pulau dan antar negara. Sementara di Ampel Denta dimana Sunan Ampel berada, selain dikenal sebagai ulama, pemimpin dan juga saudagar. Rempah rempah adalah komoditi dagang yang sudah berkembang kala itu.

Sementara menurut filolog Abimardha Kurniawan dari Fakultas Ilmu Budaya Unair, yang sempat mengunjungi Gapura itu pada Januari 2025, ia membaca ada dua baris inskripsi pada ambang pintu berbahan kayu itu.

Menurutnya hanya baris pertama yang masih memungkinkan untuk dibaca. Sedangkan pada baris kedua kondisinya lumayan aus.

“Tapi satu baris itu pun sudah cukup untuk menjelaskan kronologi gapura ini. Kalau ditransliterasikan mengikuti kaidah IAST (dengan ĕ untuk bunyi schwa atau “pĕpĕt” /ǝ/), jadinya: kĕrtiniṃpandhitavinayaṃ — — hiṃratu // haṃkaniṃvarsa //”, jelas Abimardha melalui akun Facebook nya.

Inskripsi aksara jawa di Gapura Munggah Sunan Ampel. Foto: nng

Bunyi itu dapat ditulis “Kĕrtining paṇḍita winayang ing ratu, angkaning warsa”, artinya “perilaku pendeta dibayang-bayangi oleh raja”. Tulisan beraksara Jawa ini adalah bentuk sengkalan lamba. Sengkalan lamba adalah bentuk sengkalan yang sederhana, yaitu berupa rangkaian kata, yang digunakan untuk melambangkan angka tahun.

“Dengan begitu, kita temukan sebuah kronogram bhūtasaṃkhyā, yang kalau diuraikan menjadi kĕrti (4) paṇḍita (7) winayang (6) dan ratu (1). Jadi berangka 4761, sehingga kalau dibaca dari belakang menjadi 1674 dalam tarikh Jawa antara 2 Desember 1748 —10 Desember 1749), atau sezaman dengan masa akhir pemerintahan Pakubuwana II di Surakarta (1745—1749)”, jelas Abimardha.

Lebih lanjut Abimardha menambahkan bahwa komposisi kronogram ini sangat mirip dengan inskripsi dari Goa Surocolo, Bantul, Yogyakarta, yang sekarang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta (D.148).

Kronogram dalam inskripsi Surocolo berbunyi: “kĕrtining panĕmbah winayang ing ratu (diplomatik: kṛtinniṃpannĕmbaḥvinnayaṃhiṃratu), 1624 tarikh Jawa (antara 18 Mei 1703—5 Mei 1704).

“Jadi, perbedaan antara keduanya terletak pada bilangan puluhan: paṇḍita (7) dan panĕmbah (2)”, imbuh Abimardha.

Inskripsi Goa Surocolo tersebut menandai jasa (yasa) Susuhunan Ratu Amangkurat (kiranya yang dimaksud adalah Amangkurat III atau Sunan Mas yang memerintah antara 1703—1705).

Nah, melalui gapura Munggah di komplek Ampel, sesungguhnya Surabaya memiliki penanda tahun yang otentik. Yaitu tahun Jawa 1624 atau 1704 Masehi. Entah akan dipakai untuk penandaan apa bagi kota Surabaya.

Sayang kondisi gapura ini dalam kondisi yang terus digerogoti oleh alam dan perkembangan di sekitarnya serta digerogoti oleh ketidak pedulian.

Menurut warga setempat Shohib, kondisi ini cepat atau lambat bisa merusak bangunan cagar budaya ini.

Bangunan ini tidak memiliki plakard Bangunan Cagar Budaya (BCB) tetapi berada di situs/kawasan Cagar Budaya Ampel. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *