꧌ꦧꦼꦫꦠꦥ꧀꧍ Beratap Meru Berundak, Bersisi Segi Delapan dan ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ Aksara Jawa Adalah identitas Masjid Kemayoran Surabaya.

Aksara

Rajapatni.com: SURABAYA: Berdasarkan prasasti ꧌ꦩꦰꦗꦶꦢ꧀ꦏꦼꦩꦪꦺꦴꦫꦤ꧀꧍ Masjid Kemayoran Surabaya, masjid ini dibangun pada 1772-1777 tahun Jawa atau 1848-1853 M. Ada selisih kisaran 76 tahun dari ꧌ꦠꦲꦸꦤ꧀ꦗꦮ꧍ tahun Jawa ke tahun Masehi.

Masjid ini ꧌ꦝꦶꦧꦔꦸꦤ꧀꧍ dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bentuk tukar guling dengan masjid lama berada di kawasan ꧌ꦠꦸꦒꦸꦥꦲ꧀ꦭꦮꦤ꧀꧍ Tugu Pahlawan. Karena masjid itu dibongkar untuk lingkungan perkantoran pemerintah Hindia Belanda, maka sebagai gantinya adalah dibangunlah masjid baru di lahan yang ꧌ꦩꦱꦶꦃꦏꦺꦴꦱꦺꦴꦁ꧍ masih kosong di utaranya, yaitu di Kemayoran. Sementara di kawasan masjid lama didirikan gedung baru bernama Raad Van Justitie (kantor pengadilan ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda dan Gubernuran).

Masjid Kemayoran ꧌ꦝꦼꦔꦤ꧀꧍ dengan atap meru berundak tiga.Foto: ist

Di lahan kosong ini, Kemayoran, dibangunlah komplek ꧌ꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦲꦤ꧀꧍ pemerintahan klasik Jawa. Dimana ada masjid, di belakang masjid (Barat) ada kampung Kemayoran Kauman, di Timur ada alun alun dan di Timurnya lagi ada rumah ꧌ꦧꦸꦥꦠꦶ꧍ Bupati Surabaya, yang merangkap sebagai Kantor Kabupaten.

꧌ꦒꦼꦝꦸꦁ꧍ Gedung, yang bermuka (berterss) empat yang masing masing menghadap ke Selatan, Barat, Utara dan Timur, pada 1881 dipakai ꧌ꦱꦼꦧꦒꦻ꧍  sebagai Sekolah HBS (GH Von Faber: Oud Soerabaia) hingga saatnya dibongkar dan diganti dengan gedung ꧌ꦏꦤ꧀ꦠꦺꦴꦂꦥꦺꦴꦱ꧀ꦧꦼꦱꦂ꧍  kantor Pos Besar pada 1928. Sebelumnya pernah juga dipakai sebagai kantor Polisi.

Ketika masjid ini dibangun pada 1848, konstruksi ꧌ꦄꦂꦰꦶꦠꦺꦏ꧀ꦠꦸꦂ꧍  arsitektur masjid bercorak Jawa. Bentuk atap berundak tiga, yang dalam istilah mitologi Hindu adalah Njaba, Tengah dan Njero. Bentuknya ꧌ꦱꦼꦫꦸꦥ꧍  serupa seperti atap Masjid Ampel dan Masjid Demak. Ada akulturasi arsitektur Jawa dan ꧌ꦌꦫꦺꦴꦥ꧍ Eropa serta keyakinan Islam dan keyakinan masyarakat setempat Hindu Jawa.

Angka yang relevan dengan ꧌ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦔꦸꦤꦤ꧀꧍  pembangunan masjid pada 1848

꧌ꦩꦼꦤꦸꦫꦸꦠ꧀꧍ Menurut koran Soerabajasch Handelsblad (1935), diberitakan bahwa setelah 86 tahun sejak pembangunan masjid pada 1848, masjid baru mengalami ꧌ ꦥꦼꦂꦭꦸꦮꦱꦤ꧀꧍ perluasan di sisi Timur. Ini sangat relevan dengan adanya penanda angka tahun yang tertera pada gawel masjid yang menghadap ke Timur yang kala itu menghadap ke ꧌ꦭꦥꦔꦤ꧀꧍ lapangan alun alun Kabupaten.

Pada gawel itu ada ꧌ꦥꦼꦤꦟ꧀ꦝ꧍ penanda angka tahun 1935. Angka 1935 yang kalau ditarik mundur 86 tahun, maka akan menghasilkan angka 1848 M (1772 Tahun Jawa), yang ꧌ꦩꦼꦫꦸꦥꦏꦤ꧀꧍ merupakan angka tahun dimulainya pembangunan masjid pada 1848 M atau 1772 S.

꧌ꦏꦼꦠꦶꦏ꧍ Ketika ada perluasan masjid pada 1935, kubah masjid masih berbentuk Meru berundak tiga. ꧌ꦥꦼꦫꦸꦧꦲꦤ꧀꧍ Perubahan bentuk kubah, menurut http://lib.unair.ac.id terjadi pada renovasi pada Januari 1961.

“Atap lama yang ꧌ꦧꦼꦫꦸꦟ꧀ꦝꦏ꧀꧇꧓꧇꧍ berundak tiga masih utuh hingga sekarang, hanya terkurung ꧌ꦏꦸꦧꦃꦧꦫꦸ꧍ kubah baru. Jarak antara konstruksi ujung atap lama dan bagian kubah sekitar 1 hingga 1,5 meter”, jelas Abu Khoiri (62) Ketua Kerumahtanggaan Masjid Kemayoran ketika ꧌ꦝꦶꦠꦼꦩꦸꦮꦶ꧍ ditemui pada Senin Malam (5/8/25).

Gambar atap masjid yang akan ditampilkan dalam rencana ꧌ꦫꦺꦤꦻꦴꦮ꦳ꦱꦶ꧍ renovasi dan pemugaran. Foto: ist

Jika ada renovasi lagi Masjid dan dengan rencana ꧌ꦩꦼꦔꦼꦩ꧀ꦧꦭꦶꦏꦤ꧀꧍ mengembalikan atap masjid, maka hanya melepas kubah saja.

Atap masjid ꧌ꦠꦩ꧀ꦥꦏ꧀꧍ tampak dari atas. Foto: ist

Kubah ꧌ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦝꦶ꧍ menjadi ciri khas masjid masjid tempo dulu, termasuk di masjid Kemayoran. Selain ꧌ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦰ꧀ꦠꦿꦸꦏ꧀ꦱꦶ꧍ konstruksi atap yang berbentuk Meru tiga berundak, ꧌ꦏꦼꦏ꦳ꦱꦤ꧀꧍kekhasan lainnya di masjid Kemayoran adalah aksara Jawa, yang menjadi tulisan ꧌ꦥꦿꦯꦱ꧀ꦠꦶ꧍ prasasti.

Penggalan aksara bergaris bawah merah adalah bukti yang ꧌ꦩꦼꦚꦠꦏꦤ꧀꧍ menyatakan pemberian (tukar guling) dari pemerintah yang berkuasa ꧌ꦠꦺꦩ꧀ꦥꦺꦴꦝꦸꦭꦸ꧍ tempo dulu. Foto: nng

“Kiranya dua ciri khas ini yang harus dijaga dan ꧌ꦩꦸꦚ꧀ꦕꦸꦭ꧀꧍ muncul dari masjid Kemayoran dalam upaya renovasi demi pelestarian nilai nilai yang terkandung di masjid” jelas ꧌ꦠꦺꦴꦤꦶ꧍ Thony.

Secara fisik atap masjid akan tampak dari luar. Begitu seharusnya dengan aksara para ꧌ꦥꦼꦟ꧀ꦝꦲꦸꦭꦸ꧍ pendahulu, aksara Jawa, juga bisa dijadikan pelengkap dan ciri khas signage Masjid. Selain menggunakan ꧌ꦲꦸꦫꦸꦥ꦳꧀ꦭꦠꦶꦤ꧀꧍ Huruf Latin juga ada aksara Jawa untuk menunjukkan peradaban Islam ꧌ꦗꦮ꧍ Jawa kala itu. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *