Bagaimana Menyikapi Dampak Positif Repatriasi, Yang Tidak Sekedar Menerima Dan Memelihara Artefak?

Sejarah Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Presiden Prabowo Subianto menilai bahwa pengembalian 30.000 artefak dari Belanda ke Indonesia adalah upaya positif dari pemerintah kerajaan Belanda, yang ingin memelihara hubungan baik dengan Indonesia.

Aksi ini bisa saja bukan sekadar pemindahan benda-benda kuno dari satu tempat ke tempat lain, tetapi menjadi simbol rekonsiliasi, pengakuan atas masa lalu kolonial dan pemulihan martabat bangsa yang pernah dijajah.

 

Implementasi Makna Repatriasi

Harmonisasi ini tentunya harus diiringi dengan peningkatan kesadaran kedua warga negara dalam kehidupan sehari hari. Di Belanda ada golongan masyarakat Belanda, yang selama ini terpisah dengan sejarah pendahulunya yang ada di Indonesia. Khususnya mereka yang memiliki kakek-nenek dan buyut buyut serta moyangnya yang tertinggal di Indonesia.

Banyak pemakaman Eropa (Belanda) di Indonesia. Tentunya melalui repatriasi: rekonsiliasi dan harmonisasi ini menjadikan jembatan pemahaman kedua masyarakat.

Terbukti, beberapa hari sejak pertemuan Presiden Prabowo dengan Raja Belanda, Willem-Alexander dan Ratu Máxima di Istana Huis ten Bosch, Den Haag, Belanda, pada Jumat (26/9/2025), muncullah harapan harapan dari warga Belanda yang ingin mencari kakek nenek, buyut dan moyangnya. Tidak hanya di satu tempat pemakaman saja, misalnya Surabaya. Tapi juga di pemakaman Belanda di Bogor dan Semarang.

Kuburan Van der Tuuk masih perlu perbaikan untuk penyelamatan. Foto: nng

Keluarga Donkersloot misalnya ingin mencari dan memperbaiki kuburan keluarga Van der Tuuk dan Donkersloot di pemakaman Eropa Peneleh Surabaya.

Moseleum Van Motman terlihat mewah. Foto: ist

Selain itu juga ada keluarga Motman, yang berharap bisa memperbaiki makam keluarga yang berada di Moseleum Van Motman di lingkungan Kebun Raya Bogor di Jawa Barat. Di Mausoleum ini diistirahatkan beberapa mayat dari anggota keluarga dan pendahulu Motman.

Maureen dan Michiel kepingin merawat makam leluhur mereka. Foto: Michiel.
Kakek seorang tentara KNIL dan nenek blasteran Belanda Jawa. Foto: dok keluarga

Masih ada lagi. Yaitu keluarga Schenk, yang pemakamannya ada di Pemakaman Belanda Kerkhof Kobong, Semarang. Dikisahkan bahwa dari seorang nenek yang merupakan peranakan campuran dari buyut tentara KNIL dan perempuan Jawa.

Potret leluhur Maureen. Foto: kel

 

Kerkhof Kobong

Pintu masuk Kerkhof Kobong Semarang ketika masih berdiri. Foto: kitlv.nl

Sayang pemakaman Belanda Kerkhof Kobong ini sudah hilang dibongkar dan didirikan kawasan baru. Kerkhof Kobong di Semarang sudah bukan lagi sebuah pemakaman, melainkan sudah berubah menjadi Pasar Kobong (Pasar Rejomulyo), pasar ikan terbesar di Kota Semarang. Lokasi pemakaman ini mulai dibangun menjadi pasar pada tahun 1977 dan diresmikan pada tahun 1978.

Lokasi Kerkhof Kobong yang merupakan kompleks pemakaman tua Belanda, yang dikenal sebagai Kerkop atau Kerkhof Kobong, di mana dahulu dimakamkan orang-orang Belanda dan keturunannya, khususnya pada masa penjajahan Belanda.

Kerkhof Kobong Semarang diabadikan pada 1910. Foto: kitlv.nl

Kerkhof Kobong, Semarang, diabadikan pada tahun 1910. Kita sering salah sebut antara Kerkhof atau yang biasa kita kenal sebagai “kerkop” dengan Ereveld.

Kerkhof (Kerkop) jaman dulu bagai TPU sekarang, tempat pemakaman warga sipil, bukan Ereveld. Kerkhof khusus bagi golongan Eropa. Sedangkan ereveld adalah sebuah makam khusus, yang dibuat untuk para korban Perang Dunia II dan pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949.

“Tapi kerkhof nya dibongkar dan kata Maureen, tulang tulang dari leluhurnya di Kerkhof Kobong dikubur lagi ramai ramai di Pemakaman Kedubgmundo”, jelas Michiel Eduard, kerabat Maureen sebagai ahli waris yang buyut serta moyangnya dikuburkan di Pemakaman Kerkhof Kobong.

“Tapi bukan ereveld candi”, tambah Michiel, yang menegaskan bukan di ereveld tapi di TPU.

“Maureen ingin kita buat dua Salib besar seperti di ereveld dengan nama kakek dan om nya. Oomnya Maureen bernama Alfredo Schenk, meninggal di usia 4 tahun. Sedangkan opanya bernama Johan Tobias Schenk, meninggal di usia 44”, tambah Michiel, Ketua Stichting Anak Mas, Belanda.

“Semua makam keluarga dibongkar dan tulangnya dipindahkan ke situ, TPU Jatisari Kedungmundu, Semarang” jelas Michiel.

 

Humaniora

Kisah humaniora di atas adalah dampak dari nilai harmonisasi di balik dari repatriasi artefak artefak dari Belanda ke Indonesia. Selain terkait dengan pemeliharaan makam leluhur ahli waris warga Belanda, yang leluhur mereka dimakamkan di Indonesia (d/h Hindia Belanda), masih ada lagi di bidang lain. Misalnya pendidikan dan pariwisata.

Berarti repatriasi menjadi gerbang jembatan hubungan lebih baik lagi antara kedua negara. Bagaimana kita menyikapi dampak baik repatriasi, yang tidak sekedar menerima artefak? (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *